Ilustrasi pembalap motor perempuan.
(Sumber gambar: freepik.com)
Adelia menarik napas dalam-dalam, jari-jarinya menggenggam erat setang motor. Getaran mesin di bawahnya terasa seperti detak jantung kedua, liar dan penuh tenaga. Sorak sorai penonton di kejauhan nyaris tak terdengar, tertelan oleh fokusnya pada lintasan yang membentang di depan. Ini bukan sekadar balapan biasa—bukan hanya soal garis finis atau piala berkilau. Ini adalah pembuktian. Pembuktian bahwa ia tidak akan lagi membiarkan siapa pun, termasuk lelaki yang pernah ia cintai, menentukan siapa dia atau apa yang bisa ia capai. Di saku jaket kulitnya, sebuah surat kusut dari investor terbaru yang menolaknya terasa seperti beban kecil—tapi juga pemantik semangat. Hari ini, ia akan membuktikan bahwa mereka semua salah.
***
Pagi itu dimulai seperti biasa: Adelia duduk di meja kecil di garasinya, dikelilingi tumpukan kertas dan secangkir kopi yang sudah dingin. Teleponnya berdering, dan suara di ujung sana terdengar akrab—terlalu akrab.
"Non, dunia balap ini keras. Kamu yakin bisa handle? Investor suka yang pasti, dan, maaf, kamu perempuan," kata Pak Marzuki, seorang pengusaha kaya yang pernah berjanji mendanai tim balapnya.
Adelia mengepalkan tangan di bawah meja, tapi nada suaranya tetap datar. "Pak, saya sudah menang tiga balapan regional tahun ini. Rekor saya bicara sendiri."
"Tapi tekanan nasional beda, Non. Lihat saja tim lain—semua cowok. Sponsor juga maunya yang gampang dijual ke media. Mungkin kalau kamu pakai sedikit polesan, lebih… feminin gitu, peluangnya lebih besar."
Adelia tersenyum tipis, tapi matanya menyala. "Saya balap motor, Pak, bukan ikut kontes kecantikan. Kalau Bapak nggak tertarik, saya cari yang lain." Telepon ditutup dengan bunyi klik keras.
Di luar garasi, adiknya, Farah, duduk di atas peti perkakas, memandang kakaknya dengan mata penuh kekaguman. "Kak, mereka nggak ngerti ya? Kakak kan hebat."
Adelia mengacak rambut Farah, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Mereka nggak mau ngerti, Far. Tapi nggak apa-apa. Aku akan buktikan dengan caraku sendiri."
Adelia memutuskan untuk mendaftar di balapan independen—sebuah ajang tanpa sponsor besar, tapi cukup bergengsi untuk menarik perhatian. Di lintasan, ia bertemu Yuni, pembalap wanita lain yang selalu tersenyum manis ke kamera, rambutnya tergerai sempurna meski baru turun dari motor.
"Investor suka kalau kita kasih apa yang mereka mau, Del," kata Yuni sambil memoles lipstik di cermin saku. "Cantik itu senjata, lo."
Adelia mengencangkan tali helmnya, suaranya dingin. "Aku nggak butuh senjata yang bikin aku jadi boneka mereka." Yuni hanya tertawa kecil, tapi ada sesuatu di matanya—mungkin iri, mungkin penyesalan.
Balapan pertama berjalan mulus, tapi tantangan sebenarnya muncul di putaran kedua. Motor Adelia tiba-tiba tersendat di tikungan tajam—masalah teknis yang mencurigakan. Ia melirik ke arah pit stop, tempat mekaniknya, semua lelaki, saling bertukar pandang dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Sabun di tangki," bisik salah satu dari mereka saat Adelia kembali, tapi tidak ada permintaan maaf. Adelia hanya mengangguk, tangannya gemetar saat memeriksa mesin sendiri. Dia tahu ini bukan kecelakaan.
Malam itu, di garasi, Adelia duduk sendirian, menatap motornya yang kini diam. Pikirannya melayang ke Rio, mantan kekasihnya yang pernah bilang, "Kamu nggak akan bisa apa-apa tanpa aku di sampingmu." Ia hampir percaya itu dulu—tapi tidak lagi. Farah masuk, membawa segelas air, dan duduk di sampingnya tanpa bicara. Adelia memandang adiknya, dan sesuatu di dadanya mengeras. Ia tidak akan menyerah. Tidak untuk dirinya, dan pasti tidak untuk Farah.
***
Hari balapan besar tiba. Lintasan penuh debu dan teriakan penonton, tapi Adelia hanya mendengar dengung mesinnya sendiri. Ia melaju kencang, melewati tikungan demi tikungan, meski tahu ada risiko lain di luar kendalinya. Di lap terakhir, salah satu pembalap mencoba memotong jalurnya dengan kasar—gerakan yang jelas disengaja. Tapi Adelia tidak gentar; ia mengerem tajam, lalu mempercepat di saat yang tepat, meninggalkan lawannya dalam asap knalpot. Garis finis terlihat, dan saat roda depannya melintasinya, sorak sorai meledak.
Di podium, Adelia berdiri tegak, helm di tangan, keringat menetes di dahinya. Farah berlari mendekat, memeluk kakaknya erat-erat, dan Adelia merasakan sesuatu yang hangat di matanya—bukan air mata, tapi kebanggaan. Di kejauhan, seorang lelaki berjas mendekat, memperkenalkan diri sebagai investor yang pernah menolaknya. "Saya salah menilai Anda, Nona Adelia. Mari bicara soal tim Anda." Adelia mengangguk, tapi tidak tersenyum. Ini bukan akhir, hanya awal.
Malam itu, di garasi, Adelia menemukan sekelompok gadis muda berdiri di depan pintu, mata mereka berbinar. "Kami lihat Kakak di TV. Kami mau belajar balap motor," kata salah satunya, suaranya malu-malu. Adelia menatap mereka, lalu ke arah Farah yang tersenyum lebar. "Masuk," katanya sederhana, membuka pintu lebih lebar.
Di meja kerjanya, sebuah kertas kosong menunggu. Adelia mengambil pena dan mulai menulis:
"Akademi Balap Flying Solo." Ia tidak hanya ingin menang—ia ingin membuka jalan bagi yang lain, untuk perempuan yang tidak mau diam dan hanya terlihat cantik.