Bayang di Dalam Kotak Musik

Ilustrasi sebuah kotak musik.
(Sumber gambar: en.wikipedia.org)

Di sudut ruangan yang remang, seorang wanita duduk memeluk lututnya, rambut panjangnya yang hitam legam jatuh menutupi wajahnya. Tangannya gemetar saat memegang kotak musik tua, benda kecil yang sudah berdebu, tetapi denting nadanya masih mampu membukanya seperti pintu menuju lorong waktu. Ia memutar tuasnya perlahan, dan melodi lembut itu mengalir, membawa serta aroma masa lalu yang manis sekaligus menyakitkan. Matanya terpejam, air mata menggenang di pelupuk, seolah setiap nada adalah pisau yang mengiris hati, tapi ia tak bisa berhenti mendengar. Kotak musik itu adalah peninggalan ibunya, satu-satunya yang tersisa dari sosok yang pernah menjadi dunianya.

Wanita itu bernama Mala. Ia masih ingat hari-hari ketika ibunya, Mira, duduk bersamanya di lantai kayu rumah mereka di desa, memutar kotak musik yang sama sambil bersenandung. Senyum Mira begitu hangat, seperti sinar matahari yang menyelinap di sela-sela daun, membuat dunia kecil Mala terasa penuh harapan. Setiap kali Mala menatap wajah ibunya, ia merasa dibawa ke tempat yang aman, tempat di mana ketakutan lenyap dan hanya ada tawa. Tapi, ada saat-saat ketika ia menatap terlalu lama ke mata biru ibunya—mata yang langka di desa mereka—dan ia takut melihat bayangan gelap di dalamnya, seperti awan yang menggantung sebelum hujan turun.

Rambut panjang Mira, yang selalu terurai lembut, adalah pelindung Mala saat malam-malam badai datang. Ia akan meringkuk di pangkuan ibunya, menutup telinga dari gemuruh petir, dan berdoa agar semua berlalu. Mira hanya tersenyum, membelai kepalanya, dan berkata, "Semuanya akan baik-baik saja, Sayang." Kata-kata itu seperti mantra, dan Mala memercayainya dengan sepenuh hati.

Namun, kehidupan tak pernah membiarkan kebahagiaan bertahan lama. Ketika Mala berusia sepuluh tahun, Mira jatuh sakit. Awalnya hanya batuk kecil, tapi seiring waktu, wajahnya yang penuh senyum itu mulai memucat, dan tubuhnya semakin lemah. Mala masih ingat hari ketika ia menemukan ibunya terduduk di tepi ranjang, menatap kotak musik dengan mata berkaca-kaca. "Jaga ini baik-baik, Mala," katanya dengan suara parau. "Ini bagian dari kita." Malam itu, Mira tak lagi bangun.

Setelah kepergian Mira, Mala dibawa ke kota oleh pamannya. Ia tumbuh di antara tembok beton dan hiruk-pikuk yang asing, jauh dari lantai kayu dan aroma tanah desa. Kotak musik itu menjadi satu-satunya jembatan menuju ibunya, tapi ia jarang memutarnya—terlalu sakit untuk mengingat. Hingga suatu hari, di usianya yang kedua puluh lima, sebuah surat datang. Tulisan tangan yang goyah di amplop itu membuat jantungnya berhenti sejenak. Surat itu dari Bu Yanti, tetangga lama di desa, yang memberitahu bahwa ada sebuah kotak kayu yang Mira titipkan untuk Mala sebelum meninggal. "Ia bilang, kau harus membukanya sendiri," tulis Bu Yanti.

Mala kembali ke desa dengan hati penuh pertanyaan. Rumah tua mereka masih berdiri, meski catnya sudah mengelupas dan atapnya berderit. Di sudut ruang tamu, ia menemukan kotak kayu itu, terkunci rapat dengan gembok kecil. Di dalamnya, ia menduga ada jawaban atas kekosongan yang menghantuinya selama bertahun-tahun. Tapi, ada rasa takut yang menggerogoti—bagaimana jika kotak itu membawa lebih banyak luka?

Dengan tangan gemetar, ia membuka gembok menggunakan kunci kecil yang terselip di surat Bu Yanti. Di dalamnya, ia menemukan setumpuk surat tulisan tangan Mira, sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang, dan sebuah foto lama yang memperlihatkan Mira muda memeluk Mala yang masih bayi. Matanya tertuju pada surat teratas, yang bertanggal sehari sebelum ibunya meninggal.

"Mala sayangku," tulis Mira, "Maafkan Ibu karena tak bisa tinggal lebih lama. Aku ingin kau tahu bahwa setiap senyum yang kau lihat di wajahku adalah nyata, meski aku menyembunyikan rasa sakitku darimu. Aku tak ingin kau melihatnya di mataku, tapi aku tahu kau peka. Kau selalu anak yang peka. Kotak musik ini, kalung ini, semua kenangan kita—jangan biarkan mereka menjadi beban. Hidupmu masih panjang, dan aku ingin kau menemukan kebahagiaanmu sendiri. Aku akan selalu mencintaimu, dari mana pun aku berada."

Mala menutup mulutnya, menahan isak yang mengguncang tubuhnya. Ia merasa seperti anak kecil lagi, ingin berlari ke pelukan ibunya, tapi hanya ada kekosongan di depannya. Ia memutar kotak musik itu, mendengarkan melodi yang dulu menenangkannya, tapi kini terasa seperti jerit bisu. Konflik batinnya memuncak—ia marah karena ibunya menyembunyikan penyakitnya, tapi juga hancur karena cinta yang tersirat di setiap kata surat itu.

Hari-hari berikutnya, Mala duduk di lantai kayu rumah tua itu, membaca setiap surat satu per satu. Ada cerita tentang hari kelahirannya, tentang bagaimana Mira menari di bawah hujan bersamanya, tentang mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai. Perlahan, amarahnya mencair, digantikan oleh pemahaman bahwa Mira menyembunyikan rasa sakitnya demi melindunginya. Ia menggenggam kalung bintang itu, merasakan bobotnya di telapak tangan, dan akhirnya memakainya di leher.

Pagi yang cerah tiba. Mala berdiri di depan rumah, memandang sawah yang membentang di kejauhan. Ia memutar kotak musik sekali lagi, tapi kali ini ia tak menangis. Melodi itu mengalir, dan ia membayangkan ibunya tersenyum padanya, seperti di foto lama. "Ke mana kita pergi sekarang, Bu?" gumamnya pada angin. Tak ada jawaban, tapi ia merasa ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul telah terlepas.

Mala memutuskan untuk tak kembali ke kota. Ia akan tinggal di desa, merawat rumah tua itu, dan membiarkan kenangan ibunya hidup bersamanya. Kotak musik itu kini duduk di meja kecil, bukan lagi sebagai luka, tapi sebagai pengingat bahwa cinta ibunya abadi, seperti melodi yang tak pernah usai.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.