Ungkapan Hati Ayah

Ilustrasi hubungan antara ayah dan anak.
(Sumber gambar: freepik.com)

Kepalan tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Bukan juga karena marah. Tangannya gemetar karena ia tidak tahu harus berkata apa saat melihat anaknya berdiri di ambang pintu rumah, membawa ransel lusuh dan mata yang enggan bertemu pandang. Lima tahun. Tanpa kabar. Tanpa sepatah kata pun. Sekarang anak itu kembali, dan satu-satunya hal yang bisa keluar dari mulut ayahnya adalah, "Sudah makan?"

***

Waktu itu langit memang sedang cerah, tapi hati Arya sedang kusut. Ia baru saja pulang dari pemakaman ibunya. Usianya delapan belas. Kepalanya penuh kemarahan, matanya kering tanpa air mata. Ia tidak menangis. Tidak satu tetes pun. Ayahnya hanya diam sepanjang perjalanan pulang, menyetir sambil sesekali menatap spion, seakan ingin memastikan Arya masih ada di kursi belakang.

Setibanya di rumah, Ayah langsung masuk ke kamarnya. Arya berdiri di ruang tamu, menatap foto keluarga yang tergantung miring. Ibunya tersenyum dari balik bingkai, tapi yang ia lihat hanya kehampaan. Ia mengambil tas, beberapa baju, dan meninggalkan rumah malam itu juga. Tidak menoleh ke belakang. Tidak menulis pesan.

Di kota, hidup tidak seromantis seperti di film. Arya pernah tidur di stasiun, mencuci piring di warung makan sederhana, sampai akhirnya bekerja di sebuah studio musik kecil sebagai teknisi rekaman. Musik menyelamatkannya, tapi rasa marah itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia menulis lagu-lagu yang tidak pernah ia nyanyikan, menyimpan nada-nada yang terasa terlalu personal untuk didengar orang lain.

Suatu malam, saat menyortir file lama di studio, Arya menemukan rekaman suara. File itu diberi nama "Untuk Arya". Suaranya serak, tapi Arya langsung tahu siapa itu. Ayah. Ia menekan tombol play.

"Arya, kalau kamu dengar ini, mungkin Ayah sudah tidak bisa bicara langsung ke kamu. Mungkin kamu masih marah. Mungkin kamu pikir Ayah tidak peduli. Tapi Ayah selalu dengar langkahmu di lantai atas. Ayah tahu kamu suka main gitar diam-diam saat tengah malam. Ayah tidak pernah melarang, bukan karena Ayah tidak peduli, tapi karena Ayah bangga. Ayah hanya tidak tahu caranya bilang begitu..."

Arya memejamkan mata. Dadanya sesak.

"Jika suatu hari hidup jadi terlalu berat, Ayah harap kamu tahu, kamu boleh jatuh. Kamu boleh menangis. Tapi jangan pernah berpikir bahwa kamu sendiri. Nyanyian ini... bukan cuma nada suara, melainkan ungkapan hati Ayah untuk kamu."

Rekaman berhenti. Hening.

Lima tahun sejak ia pergi, Arya berdiri di depan rumah lamanya. Ia tidak tahu apa yang ia cari. Rumah itu tidak berubah, kecuali cat pagar yang mulai mengelupas. Ia ragu mengetuk. Tapi akhirnya ia melangkah masuk.

Ayahnya ada di ruang tengah. Duduk diam. Tidak kaget. Seolah ia tahu Arya akan datang hari ini. Mereka saling diam cukup lama.

"Sudah makan?" tanya Ayah, seperti tidak ada lima tahun yang hilang.

Arya tertawa kecil. "Belum."

Ayah bangkit. "Masih suka tempe goreng, kan?"

Arya mengangguk. Tangannya masih gemetar, tapi kali ini karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat. Pelan-pelan, amarah itu larut.

Malam itu, mereka duduk bersama. Tidak bicara banyak. Hanya makan. Hanya diam yang tidak lagi menyakitkan. Di sudut meja, Arya menyodorkan sebuah flashdisk.

"Ini... lagu yang aku ciptakan. Dari... rekaman itu."

Ayah menatapnya. Tidak bilang apa-apa. Tapi matanya... akhirnya Arya melihat itu. Mata yang sama seperti ibunya. Mata yang selalu menyimpan banyak pikiran.

Lagu itu berjudul "Ungkapan Hati Ayah". Tanpa kata-kata berlebihan. Hanya nada, dan satu suara gitar.

***

Beberapa bulan kemudian, Arya mulai sering pulang. Tidak selalu membawa oleh-oleh, tapi selalu membawa waktu. Ia tahu dunia tetap keras, hidup tetap tidak mudah. Tapi sekarang, ia tahu ke mana harus pulang.

Doa ayahnya mungkin tidak pernah terdengar lantang. Tapi sekarang ia tahu, doa itu selalu bernada. Kadang berupa gorengan hangat. Kadang berupa suara serak dari sebuah rekaman lama.

Dan setiap kali badai datang, Arya menekan tombol play. Mendengar lagi suara itu.

Bukan sekadar kata.

Bukan sekadar nada.

Itu merupakan cinta yang tidak pernah benar-benar pergi.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.