Ilustrasi pedesaan di malam hari.
(Sumber gambar: freepik.com)
Siti terbangun. Keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat. Ia menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara yang mengusik tidurnya. Hanya kesunyian yang terdengar, diiringi desiran angin yang melewati celah jendela kayu. Matanya beralih pada jam dinding di samping ranjang. Sudah pukul 02.45, menjelang subuh.
Ia menoleh ke sisi lain kasur. Suaminya, Abah Rahman, tertidur pulas, sementara di tengah kasur, putri kecil mereka, Imah, meringkuk dalam lelapnya. Malam tadi, Imah merengek ingin tidur di tengah, tidak mau berpisah dari orang tuanya. Akhirnya, mereka bertiga tertidur dalam posisi sempit.
"Abah..." bisiknya, berusaha membangunkan suaminya.
"Hmmm... ada apa, Siti?" Abah Rahman bergumam setengah sadar.
"Tadi ada yang mengetuk pintu depan. Mengucapkan salam berulang kali."
"Mungkin cuma perasaanmu, tidur lagi, sebentar lagi subuh."
"Tapi aku mendengar dengan jelas..."
"Terdengar lagi?"
Siti menggeleng.
"Kalau tidak terdengar lagi, lebih baik tidur. Nanti kalau memang ada orang, pasti ada yang mengetuk lagi."
Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa kantuknya. Siti bangkit dari kasur, berjalan perlahan ke ruang tengah. Dengan hati-hati, ia menyibak tirai tipis yang menutupi jendela. Dari sela-selanya, ia mengintip ke luar. Gelap. Hanya cahaya bohlam di teras yang menerangi sebagian halaman. Pohon jambu di pinggir jalan berdiri kokoh, bayangannya bergerak tertiup angin.
"Assalamualaikum... Punten... Punntteeennn... Assalamualaikuumm...."
Siti tersentak. Suara itu kembali terdengar, jelas, begitu nyata. Bulu kuduknya meremang. Ia kembali mengintip, kali ini dengan lebih teliti. Di bawah pohon jambu, samar-samar terlihat sesosok bayangan hitam berdiri diam.
Siti berusaha membuka mulut untuk memanggil suaminya, tapi suaranya tercekat. Kakinya kaku, tubuhnya gemetar. Setelah beberapa saat, ia berhasil menggerakkan tubuhnya dan berlari ke kamar, menubruk Abah Rahman.
"Abah... ada yang berdiri di bawah pohon jambu...!"
Abah Rahman mengerjap, mencoba memahami ucapan istrinya. Dengan langkah mantap, ia bangkit dan berjalan ke ruang tengah, diikuti Siti. Keduanya mengintip dari balik tirai.
Tidak ada siapa-siapa.
"Mungkin bayangan pohon," ujar Abah Rahman tenang. "Atau hanya perasaanmu saja."
"Tapi tadi jelas ada..."
"Sudah, nanti kalau ada yang datang lagi, kita lihat. Sekarang sebaiknya tahajud, sebentar lagi subuh."
Siti menurut, meski hatinya masih gelisah. Setelah berwudhu, ia menunaikan salat tahajud. Dalam sujud terakhirnya, ia berdoa lama, terutama untuk kedua orang tuanya yang telah tiada.
Tiba-tiba—
"Assalamualaikum... Punten... Punten... Assalamualaikum..."
Suara itu kembali terdengar, kali ini disertai ketukan di pintu. Siti bangkit dari sajadahnya, mukena masih membungkus tubuhnya. Dengan hati-hati, ia menuju pintu dan mengintip dari celah jendela. Kali ini, ada dua sosok berdiri di teras.
Salah satunya, Mang Dirman, saudara jauh dari kampung sebelah.
"Neng Siti, dari tadi dipanggil ternyata lagi salat," ujar Mang Dirman.
"Ada apa, Mang?"
"Mau minta tolong, ada yang meninggal. Perlu keperluan mayit."
"Siapa yang meninggal, Mang?"
"Mak Iyah."
Siti terdiam sejenak. Ia mengenal Mak Iyah, perempuan tua yang sering berbicara lembut kepadanya. Namun, dalam ingatannya, juga tersimpan kenangan pahit. Dulu, saat masih kecil, ibunya pernah dimarahi habis-habisan oleh Mak Iyah karena sebuah kesalahan kecil. Kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya meninggalkan luka di hati kecil Siti. Rasa sakit itu bertahan bertahun-tahun, menjadi semacam dendam yang tak terucap.
"Ada satu lagi, Neng," lanjut Mang Dirman. "Mak Iyah punya wasiat... katanya beliau ingin dimandikan oleh Neng Siti."
Siti terhenyak. Hatinya berkecamuk. Kenapa harus dia? Kenapa Mak Iyah memilihnya? Bukankah dulu ia begitu merendahkan ibunya?
Namun, setelah subuh, saat berdiri di hadapan jenazah Mak Iyah, Siti menyadari sesuatu. Ada tetesan bening yang mengering di sudut mata jenazah. Air mata yang tertinggal sebelum maut menjemput. Apakah itu air penyesalan? Permintaan maaf yang terlambat?
Dalam hati, Siti beristigfar. Ia tahu, keikhlasan adalah jalan menuju ketenangan. Sambil mengusap wajah Mak Iyah untuk terakhir kalinya, ia merasa bebannya terangkat.
Karena siapa yang tidak pernah salah selama hidup di dunia ini?