Ilustrasi dunia awan.
(Sumber gambar: freepik.com)
Hana melompat kecil, kaki-kakinya tak bisa diam, berlari ke sana kemari di lapangan desa. Tawa kecilnya menggema, riang seperti lonceng yang berdenting lembut di angin pagi. Kedua tangannya berayun ke kiri dan kanan, seakan menari dengan irama tak terdengar yang hanya ada di kepalanya. Wajahnya berseri, matanya berbinar penuh harapan, dan teman-temannya—Pian, Ani, dan Dika—hanya bisa tersenyum melihat gadis kecil itu. Hari ini, mereka tahu, akan menjadi hari yang tak biasa. Hana selalu punya cara untuk mengubah hari biasa menjadi petualangan yang tak terlupakan.
Di bawah pohon beringin besar yang menjadi markas rahasia mereka, Pian menyilangkan tangan di dada, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. "Hari ini kita main apa, Hana?" tanyanya, suaranya penuh semangat.
Hana berhenti berlari, napasnya sedikit tersengal, tapi senyumnya tak pernah pudar. "Ayo kita ke dunia awan!" katanya, tangannya menunjuk ke langit biru yang membentang luas. "Di sana ada bidadari yang bernyanyi, kupu-kupu yang membawa kita terbang, dan pelangi yang bisa kita mainkan!"
Ani memiringkan kepala, rambutnya yang dikepang bergoyang lembut. "Hana, itu cuma khayalanmu. Kita kan nggak bisa ke sana beneran," katanya sambil tertawa kecil, tapi ada kilau rasa penasaran di matanya.
"Tapi kita bisa mencoba!" Hana melonjak kegirangan, pinggulnya bergoyang seperti sedang menari jaipongan, gerakan yang selalu muncul saat dia excited. "Kita cari pintu rahasia. Pasti ada di sekitar sini!"
Tanpa menunggu jawaban, dia berlari lagi, melambaikan tangan agar teman-temannya mengikuti. Mereka pun berlomba menyusuri desa kecil itu, kaki-kaki kecil mereka berderap di tanah berdebu. Mereka mengintip di balik batu besar, menggali tanah di bawah jembatan kayu, dan bahkan berani masuk ke gua kecil yang tersembunyi di tepi sawah. Tawa mereka bergema, bercampur dengan teriakan kecil saat Dika hampir terpeleset ke sungai. Tapi setelah berjam-jam mencari, tak ada pintu yang mereka temukan. Pian duduk di rerumputan, menghela napas panjang, sementara Ani menyeka keringat di dahinya.
"Hana, mungkin nggak ada pintu rahasia," kata Dika, suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Hana berdiri tegak, tangannya di pinggang, dan matanya menyipit menatap langit. "Kalau nggak ada di bawah, berarti ada di atas!" katanya, lalu berlari ke taman bunga di pinggir desa, tempat kupu-kupu selalu beterbangan. Teman-temannya saling pandang, ragu tapi tak bisa menahan rasa penasaran. Mereka tahu Hana tak akan menyerah.
Di taman, bunga-bunga liar berwarna-warni bergoyang ditiup angin. Hana berdiri di tengah, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Hai kupu-kupu!" teriaknya, suaranya lantang dan penuh harap. "Bawa kami ke dunia awan!"
Sejenak, hanya ada keheningan. Angin bertiup lembut, membawa aroma manis bunga melati. Lalu, dari balik semak-semak, segerombolan kupu-kupu muncul—sayap mereka berkilauan dalam warna kuning, biru, dan merah. Mereka beterbangan mengelilingi anak-anak itu, membentuk lingkaran kecil yang menakjubkan mata. Pian terkikik saat seekor kupu-kupu mendarat di hidungnya, sementara Ani mencoba menangkap satu dengan tangannya.
Tiba-tiba, Hana merasa kakinya tak lagi menyentuh tanah. Dia melirik ke bawah, dan jantungnya berdegup kencang—dia melayang! "Lihat!" teriaknya, tangannya meraih udara. Teman-temannya juga terangkat, wajah mereka penuh keheranan dan tawa. Kupu-kupu itu, entah bagaimana, membawa mereka ke atas, melewati pohon-pohon tinggi, melintasi sawah hijau, hingga akhirnya awan putih besar terlihat di depan mata.
Mereka mendarat lembut di atas awan yang terasa seperti kapas. Di sekitar mereka, sosok-sosok anggun dengan sayap tipis berkilauan berjalan mendekat. Suara nyanyian lembut mengisi udara, melodi yang membuat hati mereka hangat. "Selamat datang," kata salah satu sosok itu, suaranya seperti alunan angin. "Kalian pasti anak-anak yang penuh imajinasi."
Hana mengangguk cepat, "Kami mau bermain di sini! Bersama kalian!"
Sosok itu tersenyum, lalu melambaikan tangan. Tiba-tiba, sebuah lengkungan warna-warni muncul di kejauhan—pelangi! Anak-anak itu berlari, kaki mereka meluncur di atas warna merah, kuning, dan biru yang berkilauan. Mereka tertawa, saling kejar, dan bahkan berguling-guling di awan yang empuk. Di tengah permainan, sosok-sosok tinggi dengan wajah bijaksana muncul, mengajak mereka bicara tentang kebaikan dan bagaimana menjaga persahabatan.
Tapi di tengah kegembiraan, Hana tiba-tiba berhenti. Matanya membelalak, tangannya memegang pipi. "Aku lupa!" katanya, suaranya bergetar. "Aku janji sama Bu Retno, guru kita, buat latihan menari jaipongan sore ini!"
Pian mengerutkan kening, "Tapi aku nggak mau pulang sekarang. Di sini seru banget!"
Ani menggigit bibir, "Bu Retno bakal kecewa kalau kita nggak datang. Dia udah nunggu kita."
Mereka saling pandang, hati mereka terbelah. Dunia awan ini begitu indah, penuh keajaiban yang tak ingin mereka tinggalkan. Tapi di sisi lain, mereka tak ingin menyakiti hati Bu Retno, guru yang selalu sabar mengajari mereka menari dan bernyanyi.
Seorang sosok tinggi dengan jubah berkilauan mendekati mereka. "Kalian sudah melihat banyak keajaiban di sini," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Tapi dunia kalian di bawah juga punya keajaiban—kalian bisa membawanya ke sana."
Hana memandang sosok itu, lalu ke teman-temannya. Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku tahu!" katanya, "Kita bawa sesuatu dari sini, biar Bu Retno tahu kita nggak lupa sama dia!"
Sosok itu mengangguk, lalu menunjuk ke langit yang tiba-tiba gelap, penuh bintang berkilauan. "Pilih satu, dan bawa pulang," katanya.
Dengan hati-hati, mereka melayang ke atas, tangan kecil mereka meraih bintang yang paling terang. Saat Hana menyentuhnya, bintang itu berubah menjadi kristal kecil yang bersinar lembut di telapak tangannya. Mereka tersenyum lebar, kemudian kupu-kupu kembali mengelilingi mereka, membawa mereka turun perlahan ke taman bunga.
Matahari sudah mulai tenggelam saat mereka mendarat. Tanpa membuang waktu, mereka berlari ke sekolah, napas tersengal tapi wajah penuh semangat. Di sana, Bu Retno berdiri di depan kelas, alisnya terangkat saat melihat mereka datang dengan rambut berantakan dan baju penuh debu.
"Kalian dari mana? Latihannya hampir mulai," katanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.
Hana maju, tangannya terulur. "Bu, kami bawa ini buat Ibu!" katanya, menyerahkan kristal kecil itu.
Bu Retno mengambilnya, matanya melebar saat cahaya kristal memantul di wajahnya. "Ini... apa ini?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Bintang dari dunia awan!" kata Hana, pinggulnya bergoyang lagi, tak bisa menahan kegembiraan. "Kami ke sana bareng kupu-kupu, main pelangi, ketemu bidadari, dan mereka bilang kami harus bawa sesuatu untuk Ibu!"
Bu Retno tertawa kecil, lalu memeluk mereka satu per satu. "Kalian ini anak-anak yang luar biasa," katanya, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih ya, ini hadiah terindah yang pernah Ibu dapat."
Malam itu, di lapangan sekolah, mereka menari jaipongan bersama. Hana memimpin, pinggulnya bergoyang lincah mengikuti irama tabuhan dan gong. Teman-temannya mengikuti, tawa mereka bercampur dengan musik yang menggema di bawah langit penuh bintang. Dan di sela-sela gerakan, mereka sesekali melirik ke atas, mengenang petualangan mereka—dan tahu bahwa keajaiban sejati ada di hati mereka, bersama teman dan guru yang mereka sayangi.