Pengesahan Revisi UU TNI: Antara Klaim Demokrasi dan Ancaman Supremasi Sipil

Ilustrasi ketok palu dalam sidang paripurna DPR sebagai lambang otoritas dan penegasan bahwa keputusan telah final serta mengikat secara hukum.
(Sumber gambar: freepik.com)

Hari ini, Kamis (20/03/2025), DPR secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Rapat Paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani. Pengesahan ini dilakukan meskipun menuai penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. DPR dan pemerintah mengklaim bahwa revisi ini tetap berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta hukum nasional dan internasional yang telah disahkan. Namun, benarkah revisi ini mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip tersebut, ataukah justru menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia?

Proses Pengesahan: Partisipasi Bermakna atau Sekadar Formalitas?

DPR, melalui Komisi I, menyatakan bahwa proses pembahasan revisi UU TNI telah melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Mereka menggelar rapat dengar pendapat umum dengan mengundang pakar, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Namun, fakta bahwa tidak ada penolakan atau interupsi dari anggota DPR selama Rapat Paripurna—bahkan setelah Puan Maharani tiga kali meminta persetujuan—mengundang pertanyaan besar. Apakah masukan kritis dari masyarakat sipil benar-benar dipertimbangkan, atau hanya menjadi formalitas untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi tentang partisipasi publik? Penolakan dari 29.554 warga yang menandatangani petisi daring menunjukkan bahwa suara masyarakat tidak sepenuhnya terakomodasi, sehingga klaim "partisipasi bermakna" patut diragukan.

Substansi Revisi: Modernisasi atau Perluasan Wewenang?

Revisi UU TNI mencakup beberapa perubahan substansial yang menjadi sorotan. Pertama, penambahan tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang dari 14 menjadi 16 tugas, termasuk membantu menanggulangi ancaman siber serta melindungi warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri. Sekilas, penambahan ini tampak relevan dengan perkembangan teknologi dan tantangan global. Namun, hal ini berpotensi tumpang tindih dengan tugas institusi lain seperti Polri atau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang dapat menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan wewenang.

Kedua, penambahan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga menjadi poin paling kontroversial. Prajurit aktif kini dapat menduduki posisi strategis di bidang siber, sandi negara, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan RI, hingga Mahkamah Agung. Langkah ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi sipil, yang menegaskan bahwa militer harus fokus pada tugas pertahanan dan tidak mencampuri urusan sipil. Alih-alih memperkuat profesionalisme TNI, revisi ini justru membuka peluang bagi militer untuk kembali memiliki pengaruh besar dalam ranah sipil, mengingatkan pada era dwifungsi ABRI sebelum reformasi 1998.

Ketiga, perubahan masa dinas prajurit dari batas usia tertentu (58 tahun untuk perwira, 53 tahun untuk bintara dan tamtama) menjadi berdasarkan jenjang kepangkatan juga menimbulkan implikasi. Perubahan ini dapat memperpanjang masa dinas prajurit, yang berpotensi menyebabkan stagnasi promosi jabatan dan memengaruhi dinamika internal TNI.

Modernisasi TNI atau Dalih Perluasan Kuasa?

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk memperkuat modernisasi alutsista, mendukung industri pertahanan dalam negeri, serta mempersiapkan TNI menghadapi ancaman konvensional dan nonkonvensional. Ia juga menyebut revisi ini memperjelas batasan pelibatan TNI dalam tugas non-militer dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Namun, apakah semua perubahan ini benar-benar diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut? Penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif dan perluasan tugas pokok justru tampak lebih sebagai upaya memperluas pengaruh militer ketimbang sekadar modernisasi. Jika modernisasi alutsista dan profesionalisme adalah fokus utama, mengapa revisi ini malah membuka ruang bagi TNI untuk masuk ke ranah sipil yang seharusnya diurus oleh aparatur non-militer?

Ancaman terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil

Pengesahan revisi UU TNI ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap terkikisnya supremasi sipil di Indonesia. Reformasi 1998 telah memperjuangkan pemisahan peran militer dari urusan sipil dan politik praktis, dengan TNI difokuskan pada tugas pertahanan negara. Namun, dengan diperbolehkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil strategis dan bertambahnya tugas TNI yang bersinggungan dengan ranah sipil, Indonesia berisiko kembali ke masa di mana militer memiliki kuasa berlebihan. Hal ini tidak hanya mengancam supremasi sipil, tetapi juga perkembangan demokrasi yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade.

Ucapan terima kasih Sjafrie kepada lembaga swadaya masyarakat yang memberikan koreksi—meskipun berada di luar proses resmi—terkesan sebagai formalitas belaka. Pengesahan UU ini tetap berjalan meski ada penolakan dari berbagai kalangan, menunjukkan bahwa suara kritis masyarakat tidak memiliki dampak nyata dalam pengambilan keputusan.

Refleksi atas Arah Demokrasi Indonesia

Revisi UU TNI yang disahkan hari ini (20/03/2025) diragukan memiliki niat baik untuk memperkuat pertahanan negara di tengah dinamika global. Selain itu, substansi dan proses pengesahannya menunjukkan kontradiksi dengan klaim DPR dan pemerintah tentang komitmen pada demokrasi dan supremasi sipil. Penambahan wewenang TNI ke ranah sipil, baik melalui tugas pokok maupun jabatan strategis, berpotensi membawa Indonesia kembali pada bayang-bayang dwifungsi militer. Oleh karena itu, revisi ini tidak hanya perlu dipertanyakan, tetapi juga diawasi ketat oleh masyarakat agar semangat reformasi dan demokrasi tidak terkorbankan demi ambisi kekuasaan militer.


_______
Referensi:
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.