Ilustrasi seorang perempuan sedang menari dengan bebas.
(Sumber gambar: freepik.com)
Pagi tadi aku berjalan perlahan di kamar hotel yang asing, membiarkan suara Tulus dari Spotify mengisi ruang kosong di antara pikiranku yang berserakan. Tablet hitam yang tergeletak di atas meja terus memutar lagu-lagu yang tak kupilih secara sadar.
Dua minggu sejak kau, Rian, laki-laki yang pernah membuatku percaya bahwa aku bisa memahami dunia lebih luas melalui ceritamu, memberitahu bahwa kau tak bisa menemaniku ke Jakarta, aku terjebak dalam kesendirian yang ganjil. Perasaan ini, yang anehnya tak juga berubah sejak hari pertama kau mengucapkan selamat tinggal, menggantung seperti awan hitam di pikiranku.
Aku sempat ingin membatalkan kepergianku ke seminar penulis perempuan itu, tetapi entah bagaimana, aku tetap berada di sini. Barangkali itu karena Farah, sahabatku yang selalu bersikeras bahwa aku harus keluar dari kubangan keterpurukan ini.
“Jangan konyol, Kinan! Ini seminar yang kau nanti-nantikan selama bertahun-tahun. Jangan sampai kehilangan kesempatan hanya karena satu orang!” Farah mengomeliku lewat telepon seminggu lalu.
Dan kini, aku di sini. Di kamar hotel yang terasa begitu sunyi. Jakarta tetap bising, seperti biasa. Namun, aku seakan berjalan di dunia yang berbeda. Tanpa Rian, kota ini seperti labirin tanpa pintu keluar.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap jalanan yang padat, klakson mobil yang bersahut-sahutan, dan orang-orang yang sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Aku menarik napas panjang, mencoba menyelami rasa yang terus menggangguku sejak pagi.
Kenapa aku masih merindukan seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar menjadi milikku?
Aku menghela napas, mengambil novel yang kau berikan beberapa bulan lalu. Buku yang dulu membuatku merasa begitu dekat denganmu, kini hanya menjadi pengingat bahwa kau tak lagi di sisiku.
Suara lagu dari Spotify masih mengalun merdu saat aku mulai membaca. Tapi kali ini, aku tak hanya membaca kata-kata di halaman buku. Aku membaca diriku sendiri. Aku membaca betapa aku telah menggantungkan kebahagiaan pada seseorang yang tak bisa menetap. Aku membaca keheningan yang selama ini selalu kurasakan setiap kali aku menunggu pesan darimu yang tak kunjung datang.
Aku menutup buku itu, lalu berdiri. Lagu di tablet berganti menjadi “Rumah ke Rumah” yang dinyanyikan Hindia dan entah bagaimana, aku ingin menari. Kubiarkan tubuhku bergerak, mengikuti alunan musik.
Aku menari di ujung kerapuhan. Aku menari di tengah keheningan yang menggema. Aku menari untuk diriku sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas.