Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring oleh Andreas Kurniawan.
(Sumber gambar: goodreads.com)
Duka adalah pengalaman universal yang sulit dihindari, tetapi cara setiap manusia menghadapinya bisa sangat berbeda. Dalam buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ, membagikan perjalanan pribadinya menghadapi kehilangan anaknya, Hiro. Berbeda dari pendekatan klinis yang biasanya ia gunakan untuk membantu pasien, Andreas justru menemukan penyembuhan melalui aktivitas sederhana seperti mencuci piring. Buku ini tidak hanya menjadi catatan emosional, tetapi juga panduan praktis yang relevan bagi siapa saja yang tengah bergulat dengan duka. Melalui metafora mencuci piring, proses desensitisasi, dan refleksi tentang budaya serta cinta, Andreas mengajak kita memahami bahwa duka adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang harus dihadapi, bukan dihindari.
Metafora Mencuci Piring: Duka yang Harus Dilalui
Salah satu inti dari buku ini adalah perbandingan antara duka dan mencuci piring. Andreas menulis, “Duka itu seperti mencuci piring, tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya seseorang perlu melakukannya.” Aktivitas yang tampak sepele ini menjadi simbol proses penyembuhan yang lambat tetapi pasti. Seperti halnya piring kotor yang menumpuk di dapur, duka yang diabaikan akan semakin membebani pikiran dan hati. Pada bab "Tutorial Mencuci Piring", ia menggambarkan bagaimana setiap gesekan spons dan bilasan air mencerminkan usaha untuk melepaskan lapisan-lapisan rasa sakit. Proses ini tidak instan—ia membutuhkan waktu, kesabaran, dan ketekunan, mirip seperti mencuci piring hingga bersih kembali. Metafora ini menunjukkan bahwa duka bukanlah sesuatu yang bisa dihapus begitu saja, melainkan harus dilalui secara bertahap.
Desensitisasi: Membersihkan Emosi melalui Cerita
Pendekatan unik lain yang ditawarkan Andreas adalah penggunaan desensitisasi untuk mengurangi intensitas emosi terkait kehilangan. Dalam Bab 4, ia menceritakan pengalamannya mengulang kisah kematian Hiro secara berulang-ulang. Awalnya, setiap detail membawa gelombang kesedihan yang menyakitkan, tetapi seiring waktu, emosi itu mulai berkurang. Dalam praktik klinis, teknik ini disebut desensitisasi—sebuah metode untuk mengurangi respons emosional terhadap kenangan traumatis. Ia menghubungkannya dengan mencuci piring: seperti noda membandel yang perlahan hilang setelah digosok berulang kali, menceritakan duka membantu “membersihkan” beban emosional. Pada akhirnya, ia sampai pada titik ketika ia hanya berkata, “Yah, sudah sakit lama kan. Doakan saja ya,” sebuah tanda bahwa luka itu mulai sembuh meski jejaknya tetap ada.
Konteks Budaya: Menantang Tabu Duka di Indonesia
Di Indonesia, budaya Timur sering kali memandang ekspresi duka—terutama tangisan—sebagai tanda kelemahan. Andreas menyoroti tabu ini dan menawarkan sudut pandang baru yang sejalan dengan terapi penerimaan dan komitmen (acceptance and commitment therapy). Ia menegaskan bahwa kesedihan adalah perasaan wajar yang perlu diterima, bukan ditolak. Menyangkal duka, katanya, justru memperpanjang penderitaan. Dalam bukunya, ia mengajak pembaca untuk tidak berpura-pura tegar, melainkan mengakui rasa sakit sebagai langkah menuju pemulihan. Pesan ini sangat relevan di tengah masyarakat yang cenderung mengharapkan seseorang untuk segera “move on” tanpa memberi ruang bagi proses berduka yang muncul secara alami.
Panduan Praktis: Langkah-Langkah Menghadapi Duka
Buku ini juga memberikan panduan praktis seperti "Tutorial Mencuci Piring", "Tutorial Menyusun Puzzle", dan "Tutorial Menerima Kematian Seorang Anak". Ketiga tutorial ini bukan sekadar gimmick, melainkan alat nyata untuk membantu pembaca menghadapi duka. Mencuci piring mengajarkan ketekunan, menyusun puzzle melambangkan upaya menyatukan kembali potongan hidup yang tercerai-berai, dan menerima kematian anak menjadi panduan emosional yang mendalam. Pendekatan ini membuat buku ini lebih dari sekadar memoar; ia menjadi teman bagi siapa saja yang membutuhkan langkah konkret untuk melangkah maju. Andreas membuktikan bahwa penyembuhan tidak selalu membutuhkan teori rumit—terkadang, aktivitas sederhana sudah cukup untuk membawa ketenangan.
Duka sebagai Wujud Cinta
Pemikiran paling menyentuh dari Andreas, bahwa duka adalah bagian dari cinta. Ia berargumen bahwa menghapus kenangan tentang orang yang telah pergi sama saja dengan menghapus cinta yang pernah ada. Dalam bab-bab seperti "Hitungan Mundur ke Detak Jantung Terakhir", ia menunjukkan betapa berharganya setiap momen bersama Hiro, bahkan di tengah kesedihan. Alih-alih melupakannya, Andreas memilih untuk mengenang dan menghormati anaknya. Ini adalah pengingat bahwa rasa sakit yang kita rasakan saat berduka adalah bukti dari kasih sayang yang mendalam, sebuah gagasan yang mengubah cara kita memandang kehilangan.
***
Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring merupakan kisah pribadi Andreas Kurniawan dan cerminan tentang perjuangan menghadapi duka. Melalui metafora mencuci piring, ia mengajarkan bahwa penyembuhan adalah proses aktif yang membutuhkan waktu dan usaha. Dengan menantang norma budaya, menyediakan panduan praktis, dan menghubungkan duka dengan cinta, buku ini menawarkan harapan bagi siapa saja yang merasa tersesat dalam kesedihan. Seperti yang Andreas sampaikan pada ucapannya menyambut pembaca di "Klub Berduka", duka bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan menuju “normal baru yang asimetris”—sebuah kehidupan yang berbeda, namun tetap bermakna. Buku ini mengingatkan kita bahwa, satu piring demi satu piring, kita bisa menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup.