Lagu yang Sama

Ilustrasi mendengarkan lagu yang sama.
(Sumber gambar: freepik.com)

Di balik bukit pasir yang membentang di tepi pantai, sebuah pondok kayu berdiri sendirian, diterangi oleh lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya keemasan samar. Angin malam berdesir pelan, membawa aroma laut yang asin ke dalam ruangan kecil itu, tempat Arya dan Maya bersandar di sofa tua. Kaki mereka terjulur santai di atas meja kopi yang dipenuhi tumpukan buku dan dua cangkir keramik yang sudah dingin.

Dari pengeras suara portabel di sudut, sebuah lagu mengalun lembut, melodi yang sama yang terus berputar sejak mereka tiba sore tadi. Asap tipis dari lilin aromaterapi melayang di udara, bergoyang perlahan sebelum terperangkap di antara dinding-dinding kayu yang usang. Arya memandang Maya, yang tengah menatap ke luar jendela, ke arah garis cakrawala tempat ombak bergulung pelan di bawah sinar bulan. Ada kilauan di matanya, seperti laut yang memantulkan cahaya, dan sesuatu pada caranya menarik napas membuat Arya merasa bahwa malam ini berbeda.

"Kamu tahu," kata Arya, suaranya memecah keheningan yang nyaman, "aku merasa kayaknya aku sudah mengenalmu seumur hidup."

Maya menoleh, bibirnya melengkung menjadi senyum kecil yang malu-malu. "Aneh, ya? Padahal kita baru beberapa bulan bersama."

"Tapi rasanya lebih dari itu," balas Arya, jari-jarinya merayap untuk menggenggam tangan Maya. Kulitnya hangat, dan ada getaran halus di ujung jarinya yang membuat jantung Arya berdetak sedikit lebih cepat.

Mereka terdiam lagi, membiarkan lagu itu mengisi ruang di antara mereka. Melodi yang berulang itu terasa seperti napas mereka sendiri—sederhana, konstan, dan entah bagaimana penuh makna.  

"Tahu nggak," Maya tiba-tiba berkata, matanya berbinar nakal, "kamu bisa memanggilku apa saja yang kamu mau. Aku nggak keberatan."

Arya tertawa pelan, suaranya bergema lembut di ruangan kecil itu. "Beneran? Bahkan dengan panggilan 'si filsuf lebay'?"

Maya memukul lengan Arya sebagai respons candaan, dan tawa mereka bercampur dengan alunan lagu yang tak pernah berhenti. Namun, di balik senyumnya, Arya melihat bayangan kecil di mata Maya—sesuatu yang tersembunyi, menunggu untuk diungkap.

Percakapan mereka mengalir dari hal-hal sepele ke topik yang lebih berat, seperti air pasang yang perlahan naik ke pantai. Arya bercerita tentang mimpinya untuk meninggalkan kota, menetap di tempat seperti ini—tenang, jauh dari kebisingan. Maya mendengarkan, dagunya bertumpu pada tangan, tapi ada kerutan kecil di dahinya yang semakin dalam seiring Arya berbicara.

"Ada apa?" tanya Arya, menyadari perubahan di wajahnya.  

Maya menghela napas, pandangannya turun ke tangan mereka yang saling bertaut. Jari-jarinya bergerak gelisah, mengusap ibu jari Arya seolah mencari kekuatan. "Aku... aku cuma berpikir, apakah kita benar-benar cocok?" Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam suara ombak di luar. "Kamu suka ketenangan, aku suka kesibukan kota. Kita berbeda, Arya."  

Arya menarik napas dalam-dalam, merasakan bobot kata-kata itu menekan dadanya. Ia memandang Maya, mencoba membaca apa yang tersirat di balik matanya yang berkilauan. "Itu benar," katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tegas. "Tapi bukankah perbedaan itu yang membuat kita saling melengkapi?"  

"Mungkin," jawab Maya, tapi ada nada ragu yang menggantung di ujung kalimatnya. Ia menarik tangannya perlahan, memeluk lututnya sendiri. "Tapi aku takut. Aku takut suatu hari nanti perbedaan itu akan menjauhkan kita. Bahwa kita nggak akan bisa bertahan."  

Ruangan terasa lebih kecil tiba-tiba, asap lilin yang melayang terasa lebih tebal di udara. Arya menelan ludah, mencoba menjaga suaranya tetap stabil meskipun jantungnya bergetar. "Aku juga takut, Maya," akunya, matanya mencari tatapan Maya. "Tapi kita nggak bisa hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Kita harus percaya pada apa yang kita miliki sekarang."  

Maya mengangguk pelan, tapi matanya masih berkabut, seperti langit sebelum hujan. "Aku cuma ingin kita jujur. Kalau ada yang mengganggumu, katakan. Aku nggak mau ada yang disembunyikan."  

Arya tersenyum tipis, jari-jarinya kembali meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. "Begitu juga kamu. Kita harus saling terbuka."  

Lagu itu terus berputar, melodi yang sama mengalun tanpa henti, seperti pengingat bahwa malam ini belum selesai—dan bahwa mereka pun belum selesai.  

Udara malam terasa lebih sejuk saat mereka melangkah keluar dari pondok, sandal mereka meninggalkan jejak di pasir yang masih hangat. Ombak bergulung pelan di kejauhan, suaranya menenangkan seperti bisikan. Arya dan Maya berjalan berdampingan, pundak mereka hampir bersentuhan, tapi ada keheningan yang penuh makna di antara mereka.  

"Kamu tahu," Arya memulai, suaranya bercampur dengan desau angin, "aku pikir ketakutan itu wajar. Nggak ada hubungan yang sempurna. Tapi yang penting adalah kita menghadapinya bersama."  

Maya mengangguk, rambutnya tertiup angin hingga menutupi sebagian wajahnya. Dia mendorongnya ke belakang dengan gerakan kecil, dan ada senyum tipis yang mulai muncul di bibirnya. "Kamu benar. Mungkin aku yang terlalu banyak mikir."  

"Enggak," Arya memotong cepat, berhenti berjalan dan menoleh padanya. "Pikiranmu penting. Aku juga takut kadang-kadang. Tapi bersamamu, semua itu terasa... lebih mudah."  

Mereka saling berhadapan sekarang, cahaya bulan menyelinap di antara awan dan menerangi wajah Maya. Matanya berkilauan lagi, tapi kali ini bukan karena keraguan—ada kehangatan di sana, dan kepercayaan yang perlahan tumbuh.  

"Aku mencintaimu," kata Arya, suaranya lembut dan penuh keyakinan, seperti janji yang tak perlu diucapkan terlalu keras.  

Maya tersenyum lebar, giginya terlihat samar di bawah sinar bulan. "Aku juga mencintaimu."  

Mereka melangkah mendekat, lengan mereka melingkar dalam pelukan yang erat, dan kehangatan tubuh mereka menolak dinginnya angin malam. Di bawah langit yang luas, dengan ombak sebagai saksi, semua ketakutan yang tadi menggantung di antara mereka seolah menguap, tersapu oleh embusan laut.  

Saat mereka kembali ke pondok, lagu yang sama masih mengalun dari pengeras suara, melodi yang berulang itu menyapa mereka seperti teman lama. Mereka saling memandang, dan tanpa kata, mereka tahu bahwa lagu itu adalah milik mereka—sederhana, tak sempurna, tapi penuh makna yang hanya mereka pahami.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.