Ilustrasi tepi tambak.
(Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org)
Di sebuah desa pesisir yang sepi, di mana angin laut membawa bau garam dan ikan asin, tinggal seorang pemuda bernama Surya. Usianya baru menginjak 29 tahun, tetapi wajahnya tampak lebih tua, penuh garis-garis yang seolah mencatat setiap beban yang ia pikul. Surya hidup sendirian di sebuah gubuk kecil yang menghadap ke petak-petak tambak, tempat yang sama di mana, bertahun-tahun lalu, ayahnya ditemukan tewas terbungkus karung.
Ayah Surya, bernama Yanto, adalah sosok yang penuh misteri. Ia dikenal sebagai penutur cerita yang ulung di desa, sering menghibur anak-anak dengan dongeng-dongeng tentang laut dan hantu-hantu yang bersemayam di dalamnya. Namun, di balik senyumnya yang hangat, Yanto menyimpan sisi gelap. Ia terlibat dalam dunia bawah tanah, menjadi bagian dari kelompok kriminal kejam dan penuh rahasia. Pada Oktober 1984, ketika Surya masih berusia 5 tahun, Yanto ditembak mati oleh musuhnya dan mayatnya dibuang di tepi tambak, sengaja diletakkan agar mudah ditemukan—sebuah peringatan bagi siapa saja yang berani melawan.
Ibu Surya, seorang wanita lembut bernama Purwati, tidak pernah pulih dari kehilangan itu. Ia jatuh sakit, tenggorokannya perlahan membengkak karena penyakit yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Dua tahun sebelum meninggal, ia kehilangan suaranya sepenuhnya, hanya bisa berkomunikasi dengan tatapan mata yang penuh kesedihan. Purwati meninggal ketika Surya berusia sembilan tahun, meninggalkan anak itu sendirian dengan kenangan yang samar dan sebuah peti kayu tua berisi buku-buku catatan milik Yanto.
Sekarang, di usia yang hampir sama dengan saat ayah dan ibunya meninggal, Surya merasa seperti bayangan yang terperangkap di antara masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Setiap malam, ia duduk di beranda gubuknya, membaca catatan-catatan ayahnya. Tulisan-tulisan itu bukan dongeng seperti yang pernah Yanto ceritakan padanya, melainkan puisi-puisi muram tentang penyesalan, darah, dan laut yang tak pernah memaafkan. Di antara baris-baris itu, Surya menemukan petunjuk tentang hidup ayahnya—pertemuan-pertemuan rahasia, pengkhianatan, dan rasa bersalah yang menghantui Yanto hingga akhir hayatnya.
"Aku tidak ingin mati seperti mereka," gumam Surya pada dirinya sendiri suatu malam, sambil menatap tambak yang gelap di kejauhan. Ia merasa ada kutukan yang mengintai, sebuah garis takdir yang menghubungkan kematian ayah dan ibunya di usia 30-an dengan hidupnya sendiri. Tapi di dalam hatinya, ia juga ingin menemukan makna, sesuatu yang bisa menebus kegelapan yang ditinggalkan keluarganya.
Pagi itu, setelah malam yang panjang tanpa tidur, Surya memutuskan untuk pergi ke tambak tempat ayahnya ditemukan. Ia membawa sebuah buku catatan kecil yang baru dibeli, bertekad untuk menulis sesuatu—bukan puisi muram seperti ayahnya, tetapi cerita tentang hidupnya sendiri. Ia duduk di tepi tambak, mendengarkan suara ombak kecil yang menghantam tanggul, dan mulai menulis.
"Aku lahir dari garam dan air mata. Ayahku adalah penutur cerita yang menyimpan darah di tangannya. Ibuku adalah bisikan yang akhirnya lenyap. Aku tidak tahu apakah aku akan hidup lebih lama dari mereka, tapi aku ingin meninggalkan jejak yang berbeda. Bukan karung di tepi tambak, bukan puisi tentang kematian, tapi sesuatu yang hidup, yang bernapas."
Saat menulis, Surya teringat perkataan ibunya dulu, sebelum suaranya hilang: "Jangan jadi seperti ayahmu, tapi jangan juga membencinya. Ia mencintaimu, meski caranya salah." Kata-kata itu dulu terasa kosong bagi Surya, tapi kini ia mulai memahaminya. Ayahnya bukan pahlawan, tapi juga bukan monster—ia hanyalah manusia yang tersesat.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Surya merasa bebas dari bayang-bayang masa lalu. Ia memutuskan untuk terus menulis, merekam setiap hari yang ia jalani, setiap mimpi yang ia kejar. Ia ingin membuktikan bahwa hidupnya bukan sekadar pengulangan dari tragedi ayah dan ibunya. Tambak itu, yang dulu menjadi saksi bisu kematian, kini menjadi tempat ia menemukan alasan untuk hidup.
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Surya menutup buku catatannya, tersenyum kecil, dan berjalan pulang. Di tangannya, ia membawa harapan—bukan kutukan.