Dewi dan Penjaga Kenangan

Ilustrasi tangisan misterius.
(Sumber gambar: freepik.com)

Di sebuah kampung pinggir kota, tangisan itu bergema, mengisi udara dengan kesedihan yang tak terucapkan. Awalnya, warga mengabaikannya, menganggapnya sebagai suara biasa yang sering terdengar di kehidupan mereka yang penuh liku. Namun, ketika tangisan itu berlanjut hari demi hari, malam demi malam, kegelisahan mulai merayap di hati mereka. Suara itu seperti cakar yang menggores jiwa, membangkitkan kenangan-kenangan pahit yang selama ini mereka kubur dalam-dalam.

Di antara warga yang resah, ada seorang gadis kecil bernama Dewi. Berusia delapan tahun, Dewi memiliki hati yang lembut dan telinga yang peka. Berbeda dengan yang lain, ia tidak merasa terganggu oleh tangisan itu. Sebaliknya, ia merasa iba, seolah suara itu memanggilnya untuk bertindak. Setiap malam, Dewi duduk di ambang jendela kamarnya, mendengarkan tangisan yang melayang di udara. Ia mencoba melacak arahnya, tetapi suara itu seakan datang dari segala penjuru, mengelilingi kampung seperti kabut yang tak terlihat.

Suatu malam, Dewi tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Ia memutuskan untuk mencari sumber tangisan itu. Dengan mengenakan jaket tipis, ia menyelinap keluar rumah saat orang tuanya tertidur. Langkahnya ringan, berjingkat di jalan setapak yang berbatu, ditemani suara jangkrik dan desau angin.

Kampung itu tampak berbeda di malam hari. Bayangan pohon-pohon menjulang tinggi, dan rumah-rumah warga terlihat gelap dengan jendela-jendela tertutup rapat. Dewi melewati pos ronda yang kosong—mungkin para peronda juga sedang mencari sumber tangisan, pikirnya. Ia melanjutkan perjalanan, mengikuti suara yang kini terdengar lebih jelas, lebih menusuk.

Tangisan itu membawanya ke tepi kampung, dekat hutan kecil yang jarang dimasuki warga. Dewi ragu sejenak, tetapi rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Ia melangkah masuk, dedaunan kering berderak di bawah kakinya. Semakin dalam ia berjalan, semakin dekat tangisan itu terdengar. Jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi ia terus maju, mendorong ranting-ranting yang menghalangi jalannya.

Akhirnya, Dewi tiba di sebuah pohon besar yang tampak tua dan kokoh. Di bawah pohon itu, ia melihat sesuatu yang membuatnya terpana. Seorang wanita tua duduk bersandar pada batang pohon, wajahnya tersembunyi di balik rambut panjang yang kusut. Tangisan itu berasal darinya. Air mata mengalir tanpa henti dari matanya yang merah dan bengkak.

Dewi mendekat dengan hati-hati. "Nenek, kenapa nenek menangis?" tanyanya lembut.

Wanita tua itu mengangkat kepalanya perlahan. "Aku menangis untuk semua kesedihan yang tak terucapkan," jawabnya dengan suara serak.

Dewi duduk di sampingnya, bingung tetapi penuh empati. "Kesedihan apa, Nek?"

Wanita tua itu menarik napas panjang. "Aku adalah penjaga kenangan. Aku menyimpan semua kesedihan yang orang-orang lupakan atau sembunyikan. Tangisanku adalah tangisan mereka yang tak bisa menangis lagi."

Dewi mengerutkan kening, mencoba memahami. "Jadi, nenek menangis untuk orang lain?"

"Ya, sayang. Ada begitu banyak kesedihan di dunia ini—kehilangan, penyesalan, harapan yang pupus. Orang-orang sering terlalu sibuk atau takut untuk merasakannya. Jadi, aku yang menanggungnya."

"Tapi, Nek, itu pasti sangat berat. Nenek tidak lelah?" tanya Dewi, matanya penuh perhatian.

Wanita tua itu tersenyum tipis, senyum yang penuh keletihan. "Tentu saja lelah. Tapi ini tugasku. Aku harus melakukannya agar dunia tidak tenggelam dalam kesedihan yang tak terselesaikan."

Dewi merenung sejenak. "Apakah ada cara untuk membantu nenek? Mungkin aku bisa menangis bersamamu."

Wanita tua itu tertawa pelan, suara yang hampir terlupakan di tengah tangisannya. "Kamu gadis yang baik hati. Tapi ini bukan tanggung jawabmu. Kamu masih muda, nikmati hidupmu."

"Tapi aku ingin membantu," desak Dewi. "Mungkin aku bisa mendengarkan cerita-cerita kesedihan itu. Kadang, berbagi cerita bisa meringankan beban."

Wanita tua itu memandang Dewi dengan tatapan penuh kasih. "Baiklah, jika kamu bersedia. Tapi ingat, kesedihan itu bisa sangat berat."

Dewi mengangguk tegas. "Aku siap, Nek."

Maka, wanita tua itu mulai bercerita. Tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam kebakaran, tentang seorang pemuda yang dikhianati kekasihnya, tentang seorang tua yang menanti kepulangan anak yang tak pernah kembali. Setiap cerita disertai tangisan yang pelan, dan Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali ikut menitikkan air mata.

Malam berlalu, dan fajar mulai menyingsing. Tangisan wanita tua itu perlahan mereda, seiring cerita-cerita yang ia bagikan. Dewi merasa lelah, tetapi juga lega, seolah beban yang ia dengar telah sedikit berkurang.

"Terima kasih, Sayang," kata wanita tua itu. "Kamu telah membantuku meringankan beban ini. Sekarang, pulanglah. Orang tuamu pasti khawatir."

Dewi bangkit berdiri. "Apakah nenek akan baik-baik saja?"

"Aku akan baik-baik saja. Tangisanku mungkin akan terdengar lagi, tapi setidaknya, kali ini, aku tidak sendirian."

Dewi tersenyum dan melambaikan tangan. "Selamat tinggal, Nek. Aku akan datang lagi jika nenek membutuhkanku."

Ia berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Di kampung, warga mulai bangun dan menyadari bahwa tangisan itu telah berhenti. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi, tetapi Dewi hanya tersenyum dan menjaga rahasianya.

Sejak saat itu, setiap kali tangisan itu terdengar lagi, Dewi akan menyelinap keluar rumah dan pergi ke hutan untuk mendengarkan cerita wanita tua itu. Dan begitulah, di tengah kegelisahan dunia, ada seorang gadis kecil yang dengan tulus membantu menanggung kesedihan yang tak terucapkan.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.