Arus Perasaan

Ilustrasi tentang berbagai macam ekspresi perasaan.
(Sumber gambar: freepik.com)

Lisa menatap ponselnya, jari-jarinya berhenti di atas nama "Firman" di layar. Detak jantungnya terasa seperti drum yang dipukul terlalu kencang, terlalu cepat, hingga ia hampir tidak bisa bernapas. Ia ingin mengetik sesuatu—apa saja—tapi kata-kata itu lenyap begitu saja, seperti pasir yang terlepas dari genggaman. Sudah berapa lama ia merasa seperti ini? Seperti ada sesuatu yang menariknya ke dalam pusaran, membuatnya berputar tanpa arah, dan ia tidak tahu apakah ini nyata atau hanya ilusi yang ia ciptakan sendiri.

Dua bulan lalu, Lisa pindah ke Jakarta untuk memulai pekerjaan barunya di sebuah perusahaan besar. Ia pikir langkah ini akan memberinya kejelasan, tapi yang ia temukan justru kekacauan. Di kantor, ia bertemu Firman—lelaki dengan suara lembut dan tawa yang membuatnya merasa hangat, tapi juga takut. Setiap kali mereka berbicara, Lisa merasa seperti sedang melangkah di tepi jurang. Ia ingin mendekat, tapi ada suara di kepalanya yang berbisik, Bagaimana jika ini salah? Bagaimana jika ia tidak merasakan hal yang sama? Ia terjebak, terombang-ambing oleh gelombang perasaan yang tidak bisa ia pahami.

Konflik dalam dirinya semakin membesar di sebuah sore yang ramai. Mereka duduk bersama di kafe dekat kantor, cangkir kopi di tangan Lisa sudah dingin karena ia terlalu sibuk mencuri pandang ke arah Firman. Ia ingin bertanya—tentang perasaannya, tentang apa yang ada di balik senyum lelaki itu—tapi mulutnya terkunci. “Kamu pernah nggak sih merasa… bingung sama hidup?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan, hampir tenggelam oleh deru percakapan di sekitar mereka.

Firman menatapnya, matanya mencerminkan sesuatu yang Lisa tidak bisa baca. “Pernah. Tapi aku coba nikmatin aja, kayak naik ombak. Kadang-kadang kamu cuma perlu ikut arusnya.” Jawaban itu sederhana, tapi membuat Lisa semakin tersesat. Ia ingin percaya, ingin membiarkan dirinya hanyut, tapi ada bagian dirinya yang terus menariknya kembali, seperti tali yang terlalu kencang di pergelangan tangan.

Malam itu, Lisa berjalan sendirian di trotoar Jakarta yang penuh sesak. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di sekitarnya, tapi ia merasa seperti tenggelam di bawah laut, dikelilingi oleh suara-suara yang tidak berarti. Ia membayangkan wajah Firman, kata-katanya yang lembut, dan tiba-tiba kakinya berhenti. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat bayangan lelaki itu di seberang jalan—bukan bayangan, itu benar-benar Firman, berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Dengan langkah gemetar, Lisa menyeberang. Kaki-kakinya terasa berat, seperti menembus air yang dalam, tapi ia terus maju. Ketika akhirnya ia berdiri di depan Firman, kata-kata yang selama ini terpendam akhirnya pecah. “Aku nggak tahu apa yang aku rasain, tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu,” ucapnya, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Firman tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu perlahan mengulurkan tangan dan menyentuh jari-jarinya. “Kamu nggak harus ngerti semuanya sekarang,” katanya, suaranya tenang seperti angin malam. “Kadang-kadang, kita cuma perlu melangkah, meskipun kita nggak tahu ke mana.”

Saat jari-jari mereka saling bertaut, Lisa merasa ada sesuatu yang bergeser di dalam dirinya. Gelombang yang selama ini mengombang-ambingkannya tidak hilang, tapi kali ini ia tidak merasa sendirian di dalamnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi untuk pertama kalinya, ketidakpastian itu terasa seperti sebuah petualangan, bukan beban. Bersama Firman, ia siap menghadapi arus apa pun yang datang.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.