Pada 6 Februari 2025 ini merupakan tanggal kelahiran Pramoedya Ananta Toer yang ke-100. Saya pun jadi ingat bahwa dua tahun silam, saya pernah membaca buku tentang sosok sastrawan besar Indonesia ini. Buku tersebut berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis yang ditulis Eka Kurniawan. Eka memberikan gambaran mendalam tentang hubungan antara pemikiran Pramoedya dan realisme sosialis dalam karyanya yang kerap menggambarkan penderitaan rakyat kecil, perjuangan melawan penindasan, serta perubahan sosial yang terjadi pada sejarah bangsa Indonesia. Buku ini tidak hanya menyoroti kehidupan dan pemikiran Pramoedya, melainkan juga membahas konsep realisme sosialis sebagai sebuah pendekatan estetika dan ideologi dalam sastra.
Realisme Sosialis sebagai Landasan Estetika
Bukan sekadar gaya sastra, realisme sosialis juga merupakan politik estetika yang bertumpu pada perjuangan kelas. Konsep ini pertama kali berkembang di Uni Soviet dan kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada konteks ini, realisme sosialis mengharuskan karya sastra untuk tidak hanya menggambarkan realitas sosial, tetapi juga berpihak pada kaum tertindas, yakni petani dan buruh. Sastra harus menjadi alat perjuangan untuk melawan ketidakadilan dan sistem yang menindas.
Pramoedya, sebagai seorang pengarang yang aktif sejak muda, menjadikan realisme sosialis sebagai prinsip utama dalam karyanya. Ia percaya bahwa seorang seniman memiliki tanggung jawab untuk menulis tentang kenyataan yang dihadapi rakyat kecil, tidak sekadar menciptakan cerita yang bersifat hiburan semata. Hal ini terlihat dalam banyak karyanya yang mengangkat kisah perjuangan rakyat melawan kolonialisme dan kapitalisme.
Perjalanan Sastra Pramoedya dalam Tiga Periode
Eka membagi perjalanan sastra Pramoedya ke dalam tiga periode utama. Periode pertama adalah sebelum keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yakni hingga tahun 1955. Pada masa ini, Pramoedya sudah menunjukkan minat terhadap tema-tema sosial, tetapi belum sepenuhnya terikat dengan realisme sosialis.
Periode kedua, yakni 1955-1965, adalah masa ketika Pramoedya bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang mendukung prinsip realisme sosialis. Di fase ini, Pramoedya semakin tegas dalam menentang para seniman yang tidak berpihak pada perjuangan rakyat. Ia berseberangan dengan kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu), yang mengusung prinsip “seni untuk seni” dan menekankan humanisme universal. Bagi Pramoedya, seni tidak boleh netral; ia harus berpihak pada kaum yang tertindas.
Periode ketiga adalah setelah 1965, ketika Lekra dibubarkan dan para anggotanya mengalami represi politik. Pramoedya sendiri diasingkan ke Pulau Buru selama bertahun-tahun. Namun, justru dalam periode inilah ia menulis karya terbesarnya, yaitu Tetralogi Buru. Karya ini mencerminkan sintesis dari perjalanan intelektual dan ideologinya. Walaupun tidak lagi berada dalam lingkungan Lekra, Pramoedya tetap menampilkan prinsip realisme sosialis dalam narasi sejarah yang menyoroti perjuangan nasionalisme dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Analisis Realisme Sosialis dalam Karya Pramoedya
Eka dalam bukunya juga membahas bagaimana realisme sosialis diterapkan dalam karya-karya Pramoedya. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah analisis sejarah berdasarkan konsep dialektika—tesis, antitesis, dan sintesis. Pada konteks Pramoedya, tesisnya adalah karya-karya awal yang menggambarkan realitas tanpa keterikatan ideologis yang kuat. Antitesis muncul dalam fase Lekra, di mana karyanya sepenuhnya berpihak pada perjuangan kelas. Sintesis terjadi dalam Tetralogi Buru, ketika Pramoedya menggabungkan pandangan sejarah dengan kritik sosial yang mendalam.
Kendati demikian, buku ini memiliki kekurangan dalam hal eksplorasi isi karya Pramoedya. Eka lebih banyak membahas latar belakang politik dan sejarah yang melingkupi perkembangan realisme sosialis dalam sastra Pramoedya, tetapi kurang memberikan analisis mendalam terhadap isi novel-novelnya. Sebagai pembaca, tentu akan lebih menarik jika diberikan lebih banyak contoh konkret tentang bagaimana prinsip realisme sosialis benar-benar diterapkan dalam novel-novel Pramoedya.
***
Secara keseluruhan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis adalah buku yang menarik dan memberikan pengetahuan tentang bagaimana realisme sosialis mempengaruhi karya-karya Pramoedya. Eka Kurniawan berhasil menjelaskan peran ideologi pada perkembangan sastra Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan perjuangan kelas dan politik kebudayaan di era Pramoedya. Meskipun analisis terhadap isi karya Pramoedya masih kurang mendalam, buku ini tetap memberikan gambaran yang cukup komprehensif tentang hubungan antara sastra dan politik di Indonesia. Dengan membaca buku ini, kita dapat memahami bahwa sastra tidak pernah benar-benar bebas nilai, melainkan selalu berada dalam konteks sosial, politik, dan historis yang membentuknya.