Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo.
(Sumber gambar: goodreads.com)
Buku kumpulan puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo, atau yang akrab disapa Jokpin, adalah sebuah karya yang menarik dan penuh makna. Mengambil inspirasi dari kaleng biskuit Khong Guan yang begitu ikonik di Indonesia—terutama saat hari raya—Jokpin menghadirkan puisi-puisi yang tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan. Kaleng biskuit Khong Guan, yang biasanya kita bayangkan berisi biskuit dengan gambar seorang ibu dan dua anak tanpa sosok ayah, dalam buku ini menjadi simbol yang kaya akan interpretasi. Namun, ketika "dibuka" melalui puisi-puisi Jokpin, isinya bukanlah biskuit biasa, melainkan refleksi mendalam tentang keluarga, identitas budaya, dan perasaan pribadi yang dikemas dengan sentuhan jenaka.
Keluarga Khong Guan: Absennya Ayah dan Makna Lebih Luas
Salah satu puisi yang paling mencuri perhatian dalam buku ini adalah "KELUARGA KHONG GUAN". Puisi ini mengangkat pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang: mengapa sosok ayah tidak pernah tampak dalam gambar ikonik kaleng Khong Guan? Jokpin menjawab pertanyaan ini melalui suara anggota keluarga dalam puisi tersebut dengan cara yang puitis dan simbolis. Anak laki-laki berkata, "Ayahku sedang menjadi bahasa Indonesia yang terlunta di antara bahasa asing dan bahasa jalanan," sebuah ungkapan yang bisa diartikan sebagai metafora tentang identitas budaya Indonesia yang terjepit di tengah globalisasi dan perubahan zaman. Anak perempuan menambahkan, "Ayahku sedang menjadi nasionalisme yang bingung dan bimbang," yang mungkin merujuk pada kebingungan identitas nasional di era modern. Sementara itu, ibu dengan nada bijaksana sekaligus realistis mengatakan, "Ayahmu sedang menjadi koran cetak yang kian ditinggalkan pembaca dan iklan," sebuah simbol dari sesuatu yang dulu relevan tetapi kini terabaikan.
Puisi ini tidak berhenti pada kritik sosial. Dialog antara anak-anak dan ibu diakhiri dengan nada jenaka yang khas Jokpin. Kedua anak berharap, "Semoga Ayah tetap terbit dari timur, ya, Bu," menunjukkan optimisme mereka. Namun, ibu menjawab dengan santai, "Bodo amat ayahmu mau terbit dari mana. Yang penting bisa pulang dan makan bersama." Di sini, Jokpin berhasil menggabungkan refleksi mendalam dengan humor ringan, menjadikan puisi ini tidak hanya bermakna tetapi juga menghibur.
Kopi Koplo: Rindu dalam Cangkir
Puisi lain yang tak kalah menarik adalah "KOPI KOPLO", yang meskipun singkat, mampu menyentuh hati pembaca. Dalam puisi ini, Jokpin menulis:
Kamu yakin / yang kamu minum / dari cangkir cantik itu / kopi? / Itu racun rindu / yang mengandung aku.
Metafora kopi sebagai "racun rindu" begitu indah dan emosional. Kopi, yang biasanya diasosiasikan dengan kepahitan, di sini menjadi lambang perasaan rindu atau cinta yang mendalam—sesuatu yang mungkin menyakitkan tetapi tetap dinikmati. Dengan menyebut "yang mengandung aku," Jokpin seolah menempatkan dirinya sebagai bagian dari rindu tersebut, menciptakan hubungan intim antara penulis dan pembaca melalui kata-kata sederhana dan penuh semangat.
Hati Khong Guan: Nilai yang Tersembunyi
Puisi "HATI KHONG GUAN" menawarkan sudut pandang lain yang tak kalah menarik. Di puisi ini, Jokpin menulis:
Hatiku yang biasa-biasa saja / sudah menjadi biskuit / dalam kaleng Khong Guan / Mula-mula dicuekin, / tak membangkitkan selera, / lama-lama, ha-ha, habis juga.
Puisi ini menggambarkan perasaan atau hal-hal yang awalnya dianggap sepele dan tidak menarik, tapi seiring waktu ternyata memiliki nilai dan akhirnya "habis" dinikmati. Mirip seperti biskuit dalam kaleng Khong Guan yang sering dibiarkan begitu saja di meja saat hari raya, tetapi pada akhirnya tetap dimakan karena memang ada daya tarik tersembunyi di dalamnya. Puisi ini menjadi metafora tentang bagaimana kita sering kali mengabaikan hal-hal sederhana dalam hidup, padahal di situlah letak keindahan sejati.
Tema yang Saling Berkesinambungan
Perjamuan Khong Guan bukan sekadar kumpulan puisi acak. Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian yang saling berkaitan, menyentuh ranah spiritual, sosial, hingga kehidupan sehari-hari di perkotaan. Jokpin dengan cerdas mengkritik cara kita memandang agama—lengkap dengan segala ironinya—serta dinamika sosial masyarakat modern. Namun, semua itu disampaikan dengan nada jenaka yang membuat puisi-puisinya terasa ringan dan asyik untuk dibaca, asalkan kita meluangkan waktu untuk meresapi setiap barisnya.
Sebagai contoh, melalui puisi-puisi seperti "KELUARGA KHONG GUAN," Jokpin mengajak kita untuk merenungkan makna keluarga dan identitas budaya. Sementara itu, "KOPI KOPLO" dan "HATI KHONG GUAN" membawa kita ke ranah emosi pribadi yang lebih intim. Ketiga puisi ini, meskipun berbeda tema, saling melengkapi untuk membentuk gambaran utuh tentang apa yang ingin disampaikan Jokpin: bahwa di balik kesederhanaan—seperti kaleng Khong Guan—tersimpan makna yang mendalam.
Nikmatnya Perjamuan Khong Guan
Membaca Perjamuan Khong Guan ibarat membuka kaleng biskuit Khong Guan di hari raya. Awalnya, kita mungkin bertanya-tanya apa isinya—apakah benar-benar biskuit atau justru rengginang dan peyek seperti yang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Namun, ketika dibuka, yang kita temukan adalah puisi-puisi yang kaya tentang makna, humor, dan refleksi. Buku ini berhasil membuktikan bahwa Jokpin adalah penyair yang mampu mengubah prasangka pembaca—termasuk saya yang awalnya skeptis—menjadi kekaguman.
Perjamuan Khong Guan adalah perpaduan sempurna antara kritik sosial, refleksi spiritual, dan sentuhan jenaka yang membuatnya nikmat untuk "dilahap" dalam sekali baca. Seperti biskuit dalam kaleng Khong Guan, puisi-puisi ini mungkin tampak sederhana pada pandangan pertama, tetapi lama-kelamaan, "ha-ha, habis juga"—dan meninggalkan kesan mendalam di hati. Melalui buku ini, Jokpin mengingatkan kita bahwa kehidupan, seperti kaleng Khong Guan, penuh dengan lapisan makna yang menunggu untuk kita jelajahi.