Obsesi Kulit Putih di Indonesia: Sejarah, Kuasa, dan Konstruksi Kecantikan


Di Indonesia, kulit putih telah lama menjadi norma kecantikan yang mendominasi budaya populer, terlihat dari tingginya penjualan produk pemutih kulit dalam industri kosmetik. Fenomena ini bukan sekadar tren kosmetik, melainkan cerminan dari konstruksi sosial yang kompleks dan berlapis, yang melibatkan sejarah, ras, gender, dan relasi kuasa. Dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, L. Ayu Saraswati mengupas secara mendalam asal-usul obsesi ini dan makna sosial-politik yang melekat padanya. Melalui pendekatan historis dan teori afek, ia menunjukkan bahwa preferensi terhadap kulit putih tidak hanya berakar pada pengaruh kolonialisme Barat, tetapi juga telah ada sejak era pra-kolonial, terus bertransformasi seiring waktu hingga era globalisasi saat ini.

Akar Historis Obsesi Kulit Putih

Saraswati memulai analisisnya dengan menelusuri jejak obsesi kulit putih ke masa pra-kolonial, jauh sebelum masuknya kolonialisme Barat. Dalam bab pertama buku ini, ia menganalisis Kakawin Ramayana, sebuah epos Jawa dari akhir abad ke-9 yang mengadaptasi Ramayana India. Dalam teks ini, tokoh Sita, yang dipuja sebagai perempuan cantik, digambarkan memiliki kulit terang bak rembulan, sementara Prabu Rahwana, tokoh antagonis, digambarkan berkulit gelap. Penggambaran ini menciptakan hierarki warna kulit awal, di mana terang diasosiasikan dengan kecantikan dan kebaikan, sedangkan gelap dengan ketidakcantikan dan kejahatan. Hierarki ini menjadi fondasi awal persepsi kecantikan di Indonesia, menunjukkan bahwa obsesi terhadap kulit terang bukanlah produk impor semata.

Seiring waktu, konstruksi ini mengalami transformasi signifikan. Pada masa kolonialisme Belanda, kulit putih mulai mendapatkan muatan rasial, ketika "putih" diidentikkan dengan ras Kaukasia, simbol superioritas kolonial. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942–1945, muncul ideal baru: "putih Asia", yang menawarkan alternatif kecantikan berbasis estetika regional. Pada era pasca-kolonial, khususnya pasca-kemerdekaan, konsep "putih Indonesia" lahir sebagai identitas nasionalistik yang membedakan diri dari standar Barat, tetapi tetap mempertahankan supremasi kulit putih. Di era globalisasi kontemporer, Saraswati berargumen bahwa kulit putih telah menjadi "kualitas virtual", terlepas dari ras atau kebangsaan tertentu, tetapi terus melestarikan hegemoni putih di tingkat global. Perjalanan ini menunjukkan bahwa definisi "putih" bersifat cair, beradaptasi dengan konteks sejarah dan geografis.

Teori Afek dan Konstruksi Sosial Kecantikan

Mengapa kulit putih dianggap cantik? Saraswati menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan teori afek, yang mengeksplorasi bagaimana emosi dan perasaan dibentuk oleh konstruksi sosial. Ia berargumen bahwa kesan "cantik" yang melekat pada kulit putih bukanlah hal yang alami atau universal, melainkan hasil dari proses historis dan relasi kuasa. Dalam konteks Indonesia, hierarki warna kulit yang berasal dari masa pra-kolonial diperkuat oleh narasi kolonial dan pasca-kolonial, menciptakan apa yang disebut Saraswati sebagai "hegemoni emosional". Hegemoni ini membuat perasaan terhadap warna kulit tertentu—misalnya, kekaguman pada kulit putih dan penolakan pada kulit gelap—terasa wajar, padahal sebenarnya merupakan produk konstruksi sosial.

Contohnya, pada masa kolonial, "kepantasan kolonial" menuntut perempuan berkulit putih atau dari kelas priyayi untuk menunjukkan emosi yang terkendali, sementara perempuan berkulit gelap dari kelas bawah dianggap tidak mampu mengendalikan emosi. Ini menciptakan hubungan erat antara warna kulit, status sosial, dan moralitas. Pada masyarakat modern, hegemoni emosional ini terus hidup melalui iklan produk pemutih dan budaya populer, yang secara halus menanamkan gagasan bahwa kulit putih adalah simbol kecantikan, kebersihan, dan kesuksesan.

Makna Sosial-Politik: Hierarki dan Kapital Kecantikan

Obsesi terhadap kulit putih memiliki makna sosial-politik yang mendalam, terutama dalam menciptakan dan mempertahankan hierarki sosial. Saraswati menunjukkan bahwa kulit putih tidak hanya menjadi standar estetika, tetapi juga penanda kelas sosial. Kulit putih diasosiasikan dengan status tinggi—kaum priyayi pada masa kolonial atau kelas menengah-atas pada masa kini—sementara kulit gelap dikaitkan dengan kelas pekerja atau status rendah. Hierarki ini diperkuat oleh media dan industri kecantikan, yang mempromosikan kulit putih sebagai "kapital" yang dapat meningkatkan nilai sosial dan ekonomi seseorang.

Penggunaan krim pemutih kulit menjadi salah satu manifestasi dari dinamika ini. Saraswati mencatat bahwa banyak perempuan di Indonesia menggunakan produk ini untuk memenuhi standar kecantikan, sering kali didorong oleh rasa malu—malu karena memiliki kulit gelap, sekaligus malu jika ketahuan memakai pemutih. Ironi ini mencerminkan tekanan sosial yang kuat untuk menyesuaikan diri dengan norma kecantikan. Lebih jauh, ia mengkritik tren skincare routine modern yang, meskipun sering diklaim untuk kesehatan kulit, tetap didominasi oleh produk pencerah atau pemutih, menunjukkan bahwa obsesi terhadap kulit putih terus bertahan dalam bentuk baru.

Dari perspektif politik, supremasi kulit putih yang dipertahankan melalui sirkulasi transnasional citra kecantikan—dari kisah Ramayana hingga iklan global—memperkuat relasi kuasa yang tidak setara. Kulit putih menjadi alat untuk mendisiplinkan tubuh perempuan, menciptakan "tubuh patuh" yang sesuai dengan norma gender dan estetika patriarkis. Padakonteks ini, kecantikan bukanlah bentuk pemberdayaan, melainkan mekanisme kontrol yang mengikat perempuan pada standar yang ditentukan oleh sejarah dan pasar.

Tantangan terhadap Norma Kecantikan

Buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya L. Ayu Saraswati memberikan analisis yang kaya dan kritis tentang obsesi kulit putih di Indonesia. Obsesi ini, yang berakar sejak masa pra-kolonial dan terus berubah melalui kolonialisme, nasionalisme, hingga globalisasi, bukanlah fenomena sederhana, melainkan cerminan dari konstruksi sosial yang melibatkan ras, gender, dan kuasa. Makna sosial-politiknya terletak pada bagaimana kulit putih menciptakan hierarki sosial, menjadi kapital bagi perempuan, dan mempertahankan supremasi putih secara global.

Saraswati mengajak kita untuk mempertanyakan norma kecantikan ini: mengapa kulit putih dianggap superior, dan siapa yang diuntungkan oleh konstruksi ini? Dengan mengungkap sejarah panjang dan dampaknya terhadap perempuan Indonesia, buku ini menjadi panggilan untuk menantang hegemoni emosional dan estetika yang telah mengakar, membuka ruang bagi definisi kecantikan yang lebih inklusif dan bebas dari belenggu warna kulit.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.