Buku Bukan 350 Tahun Dijajah oleh G.J. Resink.
Selama bertahun-tahun, narasi bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pemahaman sejarah bangsa. Narasi ini diperkuat oleh wacana politik, pidato kenegaraan, serta kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada generasi penerus. Namun, sejarawan, penyair, dan ahli hukum G.J. Resink dalam bukunya Bukan 350 Tahun Dijajah membongkar mitos ini dengan argumen kuat berdasarkan fakta hukum dan sejarah.
Sejarah yang Dikonstruksi: Kebenaran atau Mitos?
Resink dengan tegas menolak klaim bahwa Indonesia mengalami penjajahan selama tiga setengah abad. Ia menyoroti bagaimana mitos ini awalnya muncul sebagai bagian dari propaganda politik Belanda, yang kemudian diadopsi dan disebarluaskan oleh Presiden Soekarno dalam pidato-pidato politiknya. Akibatnya, mitos ini diterima secara luas sebagai kebenaran historis tanpa adanya kajian kritis yang mendalam.
Pada penelitiannya, Resink menunjukkan bahwa hingga abad ke-20, masih banyak kerajaan dan negeri di Nusantara yang tetap merdeka dan tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kolonial. Wilayah-wilayah seperti Aceh, Bali, Kutai, dan beberapa daerah di Sumatra serta Sulawesi tetap mempertahankan kedaulatannya dalam berbagai bentuk. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua wilayah Indonesia jatuh ke dalam genggaman kolonial selama kurun waktu yang disebutkan.
Bukti Hukum: Pengakuan atas Wilayah-Wilayah Merdeka
Salah satu aspek paling menarik dari buku ini adalah analisis Resink terhadap dokumen hukum dan keputusan Mahkamah Agung Hindia Belanda. Ia menyoroti bagaimana pemerintah kolonial Belanda sendiri mengakui adanya kerajaan-kerajaan merdeka di Nusantara. Beberapa bukti yang dikemukakan antara lain:
1. Keputusan Mahkamah Agung tahun 1904, yang menegaskan bahwa seseorang dari Kutai tidak dapat diadili di pengadilan Hindia Belanda karena Kutai bukan bagian dari wilayah kolonial.
2. Peta resmi Hindia Belanda (1897-1904) yang secara eksplisit mencantumkan beberapa negeri di Sumatra dan Sulawesi sebagai "negeri-negeri merdeka."
3. Kasus hukum di Bali (1850) yang menyebut Labuan Amok sebagai bagian dari "negara asing," menegaskan bahwa Bali tidak sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda di Nusantara tidak merata dan bersifat parsial, bukan totalitas seperti yang sering diajarkan di sekolah-sekolah.
Hindia Belanda: Sebuah Negara yang Baru Terbentuk
Dalam analisisnya, Resink juga mengungkapkan bahwa Hindia Belanda sebagai entitas politik baru benar-benar terwujud hanya selama sekitar 40 tahun, bukan 350 tahun. Sebelum itu, upaya Belanda untuk menguasai Nusantara lebih banyak berupa intervensi perdagangan, kerja sama dengan kerajaan lokal, serta pertempuran sporadis yang belum menghasilkan kontrol penuh atas seluruh wilayah Indonesia.
Resink berargumen bahwa Belanda baru benar-benar memiliki kekuatan dominan setelah menaklukkan wilayah-wilayah strategis dan mengintegrasikan daerah-daerah tersebut ke dalam administrasi kolonial pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ini berarti bahwa kekuasaan Belanda atas Nusantara tidaklah sekonsisten seperti yang sering digambarkan.
Implikasi bagi Pemahaman Sejarah Indonesia
Pemaparan Resink membuka perspektif baru dalam memahami sejarah Indonesia. Jika benar bahwa tidak semua wilayah dijajah selama 350 tahun, maka ada banyak hal yang perlu dikaji ulang dalam historiografi nasional. Salah satu implikasi pentingnya adalah perlunya revisi pada kurikulum pendidikan agar sejarah Indonesia bisa disajikan secara lebih akurat dan tidak terjebak dalam konstruksi wacana kolonial.
Selain itu, buku ini juga menunjukkan bagaimana sejarah dapat dipolitisasi untuk membangun narasi tertentu, baik oleh pihak kolonial maupun oleh pemimpin nasional. Dengan memahami cara sejarah dikonstruksi, masyarakat Indonesia diharapkan dapat lebih kritis terhadap informasi historis yang diwariskan turun-temurun.
***
Melalui Bukan 350 Tahun Dijajah, G.J. Resink membongkar mitos yang telah lama diterima tanpa pertanyaan. Dengan pendekatan berbasis bukti hukum dan analisis sejarah yang mendalam, ia menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekadar klaim "350 tahun penjajahan." Selain itu, buku ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak boleh diawetkan seperti mumi, melainkan harus terus ditinjau ulang agar kebenaran sejati dapat terungkap. Sebagai bangsa yang merdeka, sudah saatnya kita menggali dan memahami sejarah dengan lebih kritis agar tidak lagi terjebak pada mitos yang menghambat pemahaman yang lebih jernih tentang masa lalu kita.