Bayangan di Balik Mahkota

Ilustrasi mahkota raja.
(Sumber gambar: freepik.com)

Pada sebuah dongeng yang diceritakan para pengelana di tepi api unggun, ada kisah tentang seorang raja yang baru saja naik takhta. Di malam penobatannya, ia bermimpi tentang sebuah mahkota emas yang berkilauan, tetapi di balik kilau itu, bayangan hitam pekat mengintai, siap menerkam jika ia melangkah sembarangan. “Mahkota ini adalah anugerah sekaligus kutukan,” bisik sebuah suara dalam mimpinya. “Setiap keputusanmu akan menentukan apakah bayangan ini menjadi pelindungmu atau algojomu.” Raja itu terbangun dengan jantungan, tetapi ia memilih untuk mengabaikan mimpi itu, menganggapnya sekadar khayalan malam.

Di dunia orang dewasa, kekuasaan memang sering kali datang dengan mahkota yang berkilauan—simbol kemuliaan yang memikat hati. Namun, seperti dalam dongeng itu, ada bayangan yang tak terlihat oleh mata telanjang. Kekuasaan bukanlah hadiah yang diberikan tanpa syarat; ia adalah tanggung jawab yang membawa risiko besar. Sayangnya, banyak pemimpin memandang mahkota mereka sebagai harta yang bisa diraup, bukan amanah yang harus dijaga. Mereka mengira kekuasaan adalah ladang subur yang bisa ditanami ambisi pribadi, dipanen dengan tangan-tangan rakus, dan disimpan dalam lumbung untuk tujuh keturunan.

Sejarah kita dipenuhi dengan kisah-kisah tentang mereka yang tersandung oleh bayangan di balik mahkota mereka sendiri. Ada yang memulai dengan janji manis, berbicara tentang keadilan dan kesejahteraan, tetapi akhirnya tenggelam dalam lautan ketamakan. Ketidakadilan pun lahir dari tangan mereka: hukum dibengkokkan, rakyat dibiarkan kelaparan, dan kebenaran disembunyikan di balik pidato-pidato kosong. Seperti benang tipis yang menggantungkan pedang dalam dongeng lain, integritas mereka putus, dan pedang itu jatuh—bukan ke leher mereka sendiri, tetapi ke pundak rakyat yang tak berdosa.

Meskipun begitu, dunia ini tidak selalu gelap. Ada pula pemimpin yang memilih untuk mendengarkan bisikan dalam mimpi mereka—atau, lebih tepatnya, nurani mereka. Mereka memahami bahwa kekuasaan bukanlah tambang emas, melainkan lampu yang harus dinyalakan untuk menerangi jalan bagi yang lain. Mereka tidak takut pada bayangan, karena mereka tahu bahwa cahaya keadilan dapat mengusirnya. Dalam kitab suci, keadilan diulang-ulang sebagai pilar yang tak boleh runtuh, sebuah perintah yang menggema dari langit untuk menjaga keseimbangan di bumi. “Berlaku adillah,” kata Sang Pencipta, karena ketidakadilan adalah racun yang merusak jiwa manusia dan mengoyak tatanan masyarakat.

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, kita sering lupa bahwa kita semua adalah penjaga lampu itu. Jika pemimpin tergoda untuk memadamkannya demi keuntungan pribadi, kitalah yang harus menyalakannya kembali. Kita tak bisa berdiam diri, menonton bayangan ketidakadilan menyebar seperti kabut yang mencekik. Seperti gadis kecil dalam dongeng Hans Christian Andersen yang menyalakan korek api untuk mengusir dingin dan gelap, kita pun harus berani menyalakan cahaya—meski hanya sebatang korek, meski hanya sesaat—untuk menolak kegelapan.

Bayangan di balik mahkota tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Ia akan selalu ada, mengintai setiap langkah pemimpin dan masyarakatnya. Namun, kita punya pilihan: membiarkan bayangan itu menelan kita atau melawannya dengan nyala kecil yang kita miliki. Dalam setiap diri kita tersimpan percikan cahaya—keberanian untuk menuntut keadilan, kesediaan untuk melawan ketidakadilan, dan tekad untuk menjaga integritas. Dengan cahaya itu, kita bisa mengubah dongeng menjadi kenyataan: sebuah dunia tempat mahkota tidak lagi menjadi kutukan, melainkan lambang kebajikan yang sejati.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.