Solilokui: Menelusuri Dunia Sastra yang Jungkir Balik

Solilokui karya Budi Darma.
(Sumber: goodreads.com)

Budi Darma, dalam kumpulan esai Solilokui, mengungkapkan kritik tajam tentang dunia sastra, baik di Indonesia maupun secara universal. Dengan wawasan luas dan gaya penulisan khas, ia tidak hanya menggugah pemikiran pembaca, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang peran sastrawan, kritikus, dan pembaca dalam ekosistem sastra. Buku ini, yang memuat esai-esai yang ditulis antara tahun 1969 sampi 1981, tetap relevan hingga kini. Kritik yang dilontarkan Budi Darma pun seolah menjadi cermin yang memantulkan berbagai problematika sastra yang tak kunjung berubah.

Sastra dan Dunia Jungkir Balik

Salah satu esai di buku ini, berjudul “Sastra: Merupakan Dunia Jungkir Balik?”, menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana Budi Darma memandang dunia sastra. Ia mencatat bahwa dunia sastra sering kali terbalik-balik; karya yang buruk mendapatkan perhatian besar, sementara karya bermutu justru diabaikan. Dalam sudut pandangnya, ketidakmampuan masyarakat memahami sastra menjadi biang keladi dari keadaan ini. Kritik Budi Darma mengungkapkan betapa tumpulnya apresiasi masyarakat terhadap sastra, sehingga mereka hanya menghargai karya yang sebenarnya tidak layak disebut sastra.

Pernyataan seperti ini tidak hanya menohok pembaca, tetapi juga mengundang diskusi mendalam tentang bagaimana karya sastra diterima oleh masyarakat. Apakah ini semata tanggung jawab pembaca yang kurang peka, atau justru kegagalan penulis dan kritikus dalam mendidik pembacanya?

Kritikus Sastra: Antara Kepekaan dan Kejujuran

Budi Darma menyoroti peran kritikus sastra sebagai pilar penting dalam dunia sastra. Menurutnya, seorang kritikus tidak hanya harus memiliki kepekaan analitis, tetapi juga kepekaan estetis. Namun, di Indonesia, ia melihat kritik sastra sering kehilangan arah. Banyak kritikus lebih sibuk memberikan pujian atau teguran dangkal ketimbang membedah karya secara mendalam.

Dalam salah satu esainya, ia mencibir kecenderungan kritikus yang memberikan ruang besar bagi karya-karya yang tidak berkontribusi pada perkembangan sastra. Menurutnya, kritik yang baik harus mampu memperlihatkan kelemahan dan keunggulan karya tanpa takut mengundang kontroversi. Hal ini sejalan dengan gaya Budi Darma yang tidak segan-segan "memukul keras" demi sebuah kejujuran intelektual.

Penulis dan Eksperimentasi Sastra

Sebagai seorang sastrawan, Budi Darma juga menyindir para penulis yang gemar bersembunyi di balik "eksperimentasi" untuk menutupi kelemahan mereka. Dalam pandangannya, eksperimen dalam sastra harus memiliki dasar yang kuat, bukan sekadar gaya tanpa isi. Ia mengkritik para penulis yang menganggap absurditas dan kekacauan sebagai bentuk seni, tetapi pada kenyataannya hanya menciptakan karya yang acak-adut.

Melalui kritik ini, Budi Darma mengingatkan kita bahwa kreativitas sejati membutuhkan kedalaman pemikiran. Sastra tidak bisa hanya bergantung pada permainan kata-kata, tetapi harus memiliki makna yang mampu menggugah pembaca.

Relevansi Kritik Budi Darma di Masa Kini

Meskipun ditulis puluhan tahun yang lalu, esai-esai dalam Solilokui tetap relevan dengan situasi sastra kontemporer. Buku ini menunjukkan bahwa problematika dalam dunia sastra—seperti kurangnya apresiasi, dominasi karya-karya dangkal, dan kritik yang tumpul—masih menjadi isu yang belum terselesaikan.

Salah satu kutipan paling mencolok dalam buku ini adalah: “Karya sastra yang baik belum tentu dibaca, terutama kalau masyarakat sastranya bodoh.” Pernyataan ini terasa pahit, tetapi membuka mata tentang bagaimana pendidikan sastra dan apresiasi budaya perlu ditingkatkan. Sampai saat ini, sastra sering menjadi konsumsi segelintir kalangan, sementara mayoritas masyarakat lebih memilih hiburan instan yang tidak menuntut pemikiran mendalam.

***

Sebagai kumpulan esai, Solilokui bukan hanya sebuah buku kritik sastra, melainkan juga pemikiran seorang profesor sastra yang mendalam dan reflektif. Budi Darma tidak hanya menyentil, ia juga menginspirasi pembaca untuk berpikir kritis tentang posisi mereka dalam dunia sastra. Buku ini menantang kita untuk lebih peka, tidak hanya sebagai pembaca tetapi juga sebagai pengamat budaya.

Jika sastra adalah dunia jungkir balik, maka Solilokui adalah kompas yang membantu kita menemukan arah. Dengan gaya yang nyeleneh dan tajam, Budi Darma mengajarkan bahwa dunia sastra membutuhkan keberanian untuk berubah, berpikir, dan berani keluar dari zona nyaman. Membaca buku ini, kita diajak untuk tidak hanya memahami sastra, melainkan juga memperjuangkannya sebagai bagian penting dari peradaban.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.