Ilustrasi manusia dan waktu.
(Sumber gambar: freepik.com)
Ke mana waktu membawa kehidupan kita? Sebagian orang meyakini bahwa waktu adalah musuh yang diam-diam merenggut segalanya: kesehatan, kebahagiaan, bahkan harapan. Mereka melihat dunia berputar semakin cepat, membawa kita pada kekacauan, ketidakpastian, dan akhir yang suram. Namun, ada pula yang percaya bahwa waktu adalah sahabat yang setia, membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam, hubungan yang lebih manusiawi, dan kehidupan yang lebih bermakna.
Saya memilih berdiri di sisi yang kedua. Bukan karena saya menutup mata pada kerusakan yang ada—tentu saja dunia tidak sempurna. Bencana alam terus terjadi, konflik antarmanusia masih membara, dan tubuh kita tetap rapuh di hadapan waktu. Tetapi, di balik semua itu, ada sesuatu yang berkembang. Ada mutu tertentu dalam cara kita hidup yang perlahan-lahan menjadi lebih baik.
Dulu, hidup diatur oleh kekuatan yang kaku. Orang tua mendidik anak dengan tangan besi, penguasa menutup mulut rakyat dengan kekerasan, dan perbedaan di antara kita dijadikan alasan untuk saling membenci. Sekarang, meski tidak sempurna, kita mulai belajar. Cara kita memperlakukan satu sama lain berubah. Anak-anak tidak lagi sekadar diperintah, tetapi didengar. Perbedaan tidak lagi selalu menjadi bahan bakar permusuhan, melainkan peluang untuk saling memahami. Bahkan di tengah hiruk-pikuk dunia modern, ada ruang untuk kelembutan yang dulu tak terbayangkan.
Tapi, perubahan ini tidak datang tanpa harga. Kita hidup di zaman yang penuh kebisingan—bukan hanya suara klakson atau teriakan di jalanan, tetapi juga kebisingan pikiran. Kebebasan yang kita miliki sekarang, yang dulu kita impikan, ternyata membawa tantangan baru. Saya ingat percakapan dengan seorang pengemudi ojek online (ojol) malam itu. “Hidup dulu lebih tenang,” katanya sambil matanya fokus ke arah jalanan. “Sekarang semua orang punya pendapat, semua orang mau didengar. Capek.”
Saya tersenyum mendengarnya, tapi dalam hati saya tidak setuju. Ia merindukan ketenangan masa lalu, tapi ketenangan itu palsu—dibangun di atas ketidakbebasan. Dulu, orang-orang diam bukan karena damai, tetapi karena takut. Penguasa mengatur segalanya, dan suara rakyat dibungkam sebelum sempat terucap. Kini, kebisingan yang pengemudi ojol itu keluhkan adalah tanda bahwa kita hidup. Kita berdebat, kita berbeda, kita saling menantang. Dan di tengah semua itu, kita belajar.
Kebebasan memang tidak mudah. Ia seperti hadiah yang diberikan kepada kita tanpa buku petunjuk. Bayangkan seorang anak kecil yang diberi sepeda pertama kali. Ia akan jatuh, menangis, mungkin kesal karena roda itu tak langsung membawanya melaju. Tapi, lama-kelamaan, ia belajar mengayuh. Begitu pula dengan kita. Kebebasan yang kita miliki—untuk berbicara, untuk memilih, untuk menjadi diri sendiri—memerlukan waktu agar kita tahu cara menggunakannya.
Dan ini bukan hanya soal manusia dewasa. Hewan tidak memerlukan kebebasan seperti kita. Seekor burung di langit terbang bebas, tapi ia tidak merenungkan makna kebebasannya. Seekor kucing di rumah mungkin bahagia dengan semangkuk makanan dan tempat tidur yang hangat, tanpa pernah bertanya apa itu kebebasan. Manusia berbeda. Kita adalah makhluk yang haus akan makna, yang membayangkan dunia di mana setiap orang bisa bernapas lega tanpa takut dihakimi atau dihukum.
Namun, kebebasan tanpa kesiapan adalah bencana. Kita tidak bisa melepaskan seekor anjing liar di tengah kota dan berharap ia tahu cara menyeberang jalan. Kita tidak bisa memberikan kebebasan penuh kepada seseorang yang belum belajar menghormati batas-batasnya sendiri maupun orang lain. Kebebasan membutuhkan pondasi: pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang tulus terhadap kehidupan.
Saya percaya, waktu membawa kita ke arah yang lebih baik karena kita terus belajar membangun pondasi itu. Kita belajar bahwa kebebasan bukan sekadar hak untuk berteriak sekeras mungkin, tetapi juga tanggung jawab untuk mendengarkan. Kita belajar bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan cermin yang membantu kita melihat diri sendiri lebih jernih. Dan yang terpenting, kita belajar bahwa kehidupan yang lebih baik tidak diukur dari seberapa sedikit kebisingan yang kita dengar, tetapi dari seberapa banyak makna yang bisa kita temukan di dalamnya.
Jadi, ke mana waktu membawa kita? Saya pikir, ke tempat di mana kita semakin menjadi manusia—rapuh, berisik, tapi juga penuh harapan.