Musik adalah bahasa universal yang mampu menggetarkan jiwa, menghubungkan manusia, dan menciptakan kenangan yang tak lekang oleh waktu. Namun, bagaimana jika musik bukan hanya didengar, melainkan juga ditulis? Buku Nice Boys Don’t Write Rock n Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik 2007–2017 karya Nuran Wibisono menjawab pertanyaan ini dengan cara yang unik dan penuh energi. Kumpulan esai ini tidak hanya menjadi arsip sejarah musik, melainkan juga sebuah manifesto jurnalisme musik di Indonesia.
Nuran Wibisono, seorang jurnalis musik, menawarkan perspektif segar yang menghubungkan pembaca dengan berbagai lapisan dunia musik. Melalui lima bagian yang ia sebut “side”—menyerupai sisi-sisi kaset yang akrab di era analog—Nuran mengajak kita menyelami musik dari beragam sudut pandang. Dari nostalgia budaya musik yang perlahan ditinggalkan, bisnis di balik industri musik, hingga pengaruh besar genre hair metal, setiap bab menjadi potongan mozaik yang membentuk narasi komprehensif.
Dunia Musik yang Berubah
Bagian pertama, Side A: Tentang Musik dan Apa yang Mulai Ditinggalkan, mengangkat isu-isu yang sering luput dari perhatian kita. Nuran menyoroti perubahan lanskap media musik, seperti tutupnya Rolling Stone Indonesia pada 2018, yang mencerminkan pergeseran besar dari media cetak ke digital. Ia juga menggugah ingatan kolektif kita tentang era kejayaan kaset, radio, dan majalah musik—benda-benda yang dahulu menjadi gerbang utama menuju dunia musik.
Membaca bagian ini, kita diajak untuk merenungi bagaimana musik tidak hanya berubah sebagai karya seni, tetapi juga sebagai produk budaya. Dunia yang semakin terhubung secara digital menghadirkan tantangan baru bagi musisi dan penggemar musik, yang kini lebih sering berinteraksi melalui layar daripada panggung.
Di Balik Panggung: Bisnis Musik
Di Side B: Tentang Bisnis Musik, Nuran membongkar sisi pragmatis dunia musik. Ia menggali lebih dalam bagaimana musik menjadi komoditas di industri yang kejam dan sering kali tak ramah bagi musisi. Melalui analisisnya, ia membuktikan bahwa bisnis musik adalah ekosistem yang kompleks, melibatkan musisi, produser, label, hingga platform digital.
Tulisannya yang lugas dan tajam membuat pembaca menyadari bahwa di balik gemerlap konser dan lagu yang menghiasi daftar putar, ada realitas bisnis yang penuh intrik. Kritik Nuran terhadap ketimpangan ini tidak hanya menjadi pengingat, tetapi juga dorongan bagi pembaca untuk lebih menghargai perjalanan panjang sebuah karya musik.
Hair Metal dan Warisannya
Bagian yang paling mencuri perhatian adalah Side C: Hair Metal. Sebagai seorang penggemar setia genre ini, Nuran menghidupkan kembali era glam rock dan hair metal yang mencapai puncaknya pada 1980-an. Band-band seperti Mötley Crüe, Guns N' Roses, dan Skid Row menjadi pusat perbincangan, bukan hanya karena musik mereka, tetapi juga gaya hidup liar yang menjadi simbol pemberontakan generasi.
Melalui pendekatan gonzo journalism, Nuran membangun narasi yang kaya dengan humor menyentil. Salah satu contoh paling mencolok adalah ulasannya tentang ukuran kelamin Tommy Lee, drummer Mötley Crüe, yang disebutnya bisa membuat bintang porno merasa minder. Sentuhan humor ini membuat pembahasannya tetap ringan meski topiknya mendalam, sehingga menciptakan pengalaman membaca yang menghibur sekaligus informatif.
Musik Indonesia di Tengah Perubahan
Side D: Musik Indonesia menghadirkan refleksi mendalam tentang dunia musik lokal. Dari kritik terhadap Ahmad Dhani hingga apresiasi terhadap Slank, Nuran menghadirkan potret musik Indonesia yang penuh warna. Tulisan-tulisan ini mengungkap kompleksitas budaya musik Indonesia, mulai dari idealisme hingga komersialisasi.
Melalui tulisan seperti “Iwan Fals dan Kopi Itu,” Nuran juga menyoroti bagaimana musisi dapat terjebak dalam peran ganda sebagai seniman dan ikon komersial. Selain itu, pandangannya yang tajam memberikan dimensi baru bagi pembaca untuk memahami perjalanan musik Indonesia.
Obituari: Kenangan yang Hidup Kembali
Bagian terakhir, Side E: Obituari dan Kematian, adalah penghormatan Nuran terhadap musisi yang telah berpulang. Di sini, ia menulis dengan nada melankolis, menghadirkan kembali sosok-sosok seperti Jim Morrison, Bob Marley, dan Nike Ardilla melalui kenangan dan cerita mereka. Tulisan ini tidak hanya menjadi pengingat terhadap warisan mereka, melainkan juga refleksi tentang kefanaan manusia dan keabadian musik.
Kekurangan dan Keunggulan
Meski kaya tentang informasi dan gaya penulisan yang beragam, buku ini memiliki beberapa kekurangan. Ketidakhadiran tanggal pada tulisan-tulisannya membuat pembaca sulit mengikuti alur waktu. Beberapa bagian juga terasa berulang, yang seharusnya dapat dipadatkan untuk menjaga fokus narasi.
Meskipun demikian, keunggulan buku ini terletak pada kemampuan Nuran untuk menggabungkan data yang komprehensif dengan bahasa yang mudah dipahami. Perpaduan humor, kritik tajam, dan narasi personal menjadikan buku ini lebih dari sekadar kumpulan esai; ia adalah cerminan kecintaan seorang jurnalis terhadap musik.
***
Nice Boys Don’t Write Rock n Roll adalah sebuah karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. Dengan menggabungkan perspektif jurnalisme, kritik budaya, dan pengalaman pribadi, Nuran Wibisono berhasil menghidupkan kembali dunia musik dalam bentuk tulisan. Buku ini mengingatkan kita bahwa musik tidak hanya untuk didengar, melainkan juga untuk dipahami, dihargai, dan dirayakan.
Melalui esai-esaianya, Nuran membuktikan bahwa membaca dan mendengarkan musik bisa menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan dunia. Bagi siapa saja yang ingin memahami dunia musik lebih dalam, buku ini adalah pintu masuk yang tepat.