Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya Muhidin M. Dahlan merupakan novel yang kontroversial dan "mengganggu" pikiran. Dalam novel ini, pengarang membawa pembaca memasuki perjalanan spiritual seorang perempuan muda, Nidah Kirani, yang berubah dari seorang mahasiswi taat beragama menjadi seorang pelacur sebagai bentuk protes terhadap kekecewaannya pada agama dan masyarakat yang ia hadapi. Novel ini lebih dari sekadar cerita, melainkan juga sebuah kritik tajam terhadap dogmatisme agama, otoritarianisme organisasi keagamaan, dan kemunafikan sosial yang tersembunyi di balik klaim religiusitas.
Kekecewaan terhadap Dogmatisme Agama
Nidah Kirani merupakan simbol dari banyak individu yang mencari makna spiritualitas mendalam tetapi menemui jalan buntu dalam organisasi agama yang kaku dan otoriter. Di novel ini, Muhidin M. Dahlan menyoroti bagaimana pertanyaan kritis Nidah tentang konsep ketuhanan tidak mendapat jawaban yang memuaskan, tetapi justru dibungkam dengan doktrin yang tidak membuka ruang dialog. Sikap organisasi Jemaat Islam dalam cerita ini menggambarkan sebagian dari realitas organisasi keagamaan yang terkadang menekankan kepatuhan buta tanpa memberikan ruang bagi pemahaman rasional atau spiritual yang mendalam.
Dogmatisme seperti ini membuat Nidah merasakan kekecewaan mendalam, sehingga ia merasa asing dengan agamanya sendiri. Kekosongan spiritual yang dialaminya menjadi titik balik dalam hidupnya, mendorongnya mengambil langkah ekstrem dengan meninggalkan kehidupan religiusnya dan memasuki dunia pelacuran. Perubahan Nidah menjadi "ayam kampus" adalah bentuk pemberontakan personal terhadap sistem keagamaan yang ia anggap gagal memberikan kebahagiaan, kedamaian, dan keadilan.
Pelacuran sebagai Kritik Sosial
Keputusan Nidah untuk menjadi pelacur bukan hanya tentang masalah pribadi, melainkan juga kritik sosial yang ditampilkan Muhidin kepada masyarakat yang penuh kemunafikan. Ironi terbesar dalam novel ini adalah fakta bahwa sebagian besar pelanggan Nidah merupakan politisi, termasuk mereka yang berasal dari kelompok religius konservatif. Hal ini menggambarkan betapa munafiknya sebagian tokoh masyarakat yang di depan publik menunjukkan moralitas tinggi, tetapi dalam kehidupan pribadi malah terlibat dalam praktik yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Muhidin juga memperlihatkan bagaimana Nidah, yang merasa telah kehilangan arah dalam agama, mencari makna dalam perbuatannya. Ia tidak lagi memandang pelacuran sebagai perbuatan dosa, melainkan sebagai cara untuk menyampaikan pesan kepada Tuhan. Pesannya adalah ia melakukannya sebagai ekspresi kekecewaan, bukan semata-mata karena kesenangan atau kebutuhan ekonomi. Dalam konteks ini, novel ini menantang pembaca untuk memikirkan ulang definisi dosa, kemunafikan, dan spiritualitas.
Kritik terhadap Organisasi Radikal
Muhidin menggunakan novel ini untuk mengkritik organisasi radikal yang berusaha mendirikan negara Islam dengan cara-cara otoriter. Dalam cerita, organisasi Jemaat Islam tidak hanya kaku, tetapi juga menutup ruang bagi perbedaan pendapat dan kritik. Hal ini menunjukkan sisi gelap dari gerakan radikal yang menggunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Melalui penggambaran Nidah Kirani, novel ini menunjukkan bagaimana seseorang yang terlibat dalam organisasi semacam itu sering kehilangan kebebasan berpikir. Mereka dipaksa menerima dogma tanpa diizinkan untuk bertanya atau berdialog. Pada konteks tersebut, novel ini menjadi peringatan tentang bahaya fanatisme dan efek yang dapat merusak kehidupan pribadi dan sosial.
Relevansi dan Kontroversi
Sejak diterbitkan pada 2006, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! telah menuai kontroversi. Banyak yang menganggap novel ini provokatif dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Namun, di sinilah letak kekuatan novel ini: ia memaksa pembaca untuk menghadapi kenyataan yang sering disembunyikan atau disangkal oleh kebanyakan orang.
Novel ini relevan dalam konteks masyarakat modern yang masih bergulat dengan isu-isu seperti dogmatisme agama, radikalisme, dan kemunafikan moral. Kritik yang disampaikan Muhidin tidak hanya berlaku bagi satu kelompok agama tertentu, melainkan kepada semua bentuk pemikiran atau organisasi yang mengabaikan kemanusiaan dan kebebasan individu atas nama ideologi.
***
Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! merupakan novel yang kompleks tetapi memiliki makna yang dalam. Muhidin M. Dahlan dengan berani menggunakan cerita Nidah Kirani untuk mengeksplorasi tema-tema yang tabu di sebagian besar masyarakat Indonesia (tetapi penting untuk dibahas), seperti dogmatisme agama, kemunafikan sosial, dan krisis spiritual. Novel ini tidak hanya menawarkan cerita, melainkan juga tantangan intelektual dan moral bagi pembacanya.
Melalui novel ini, pembaca diajak untuk mempertanyakan kembali keyakinan, praktik agama, dan struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apakah agama telah menjadi alat pembebasan atau justru penindasan? Apakah masyarakat yang mengaku religius benar-benar mencerminkan nilai-nilai agama, atau hanya sekadar topeng untuk menyembunyikan kemunafikan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan novel ini lebih dari sekadar karya sastra; ia adalah cermin tajam yang memantulkan wajah masyarakat kita.