Novel Convenience Store Woman yang ditulis Sayaka Murata memberikan eksplorasi mendalam tentang harapan masyarakat, pilihan individu, dan keterasingan melalui kehidupan Keiko Furukura, seorang perempuan berusia 36 tahun yang bekerja di toko serba ada (toserba) Smile Mart di Jepang. Murata menggali isu tentang standar sosial dan otonomi pribadi, mengungkap dinamika kompleks antara ekspektasi yang diberikan masyarakat terhadap identitas individu. Melalui karakter Keiko, Murata tidak hanya mempertanyakan peran dan tekanan yang ditimpakan masyarakat tetapi juga merenungkan arti kehidupan yang bermakna. Dalam menceritakan isu tersebut, Murata menantang pandangan konvensional tentang arti kebahagiaan dan menjalani hidup yang normal, serta mengajak pembaca untuk memikirkan kembali konstruksi sosial yang sering kali menentukan keberhasilan seseorang.
Keiko Furukura sebagai Karakter yang Melawan
Ilustrasi Keiko Furukura sebagai karakter yang melawan standar sosial di hidupnya.
(Sumber gambar: freepik.com)
Convenience Store Woman memiliki karakter utama bernama Keiko sebagai representasi seseorang yang menantang pandangan konvensional terhadap kepuasan hidup. Ia adalah sosok yang dianggap “aneh” oleh standar masyarakat—tanpa pasangan hidup, tanpa anak, dan sangat mengabdikan dirinya di toserba. Alih-alih memiliki tujuan hidup yang lebih dihargai masyarakat, seperti menikah atau memiliki jabatan tinggi, Keiko merasa nyaman dengan stabilitas pekerjaannya. Lingkungan yang itu-itu saja dan sudah ia kuasai ini memberinya rutinitas yang membantunya menjalani hidup sehari-hari. Bagi Keiko, perannya di Smile Mart bukan sekadar pekerjaan, melainkan tempat di mana ia merasa “diprogram” untuk menjadi orang normal, sehingga hidupnya memperoleh keteraturan dan makna. Tempat kerjanya pun menjadi benteng perlindungan dari tekanan sosial dan struktur sosial konvensional.
Keputusan Keiko untuk secara sadar mengasingkan diri dari masyarakat umum menimbulkan pertanyaan tentang otonomi pribadi. Masyarakat cenderung melihat pilihannya sebagai pegawai toserba yang sudah belasan tahun merupakan sebuah kegagalan, tetapi Keiko justru menjalaninya dengan penuh kebanggaan, sehingga memperlihatkan ketidaksesuaian antara harapan sosial dan kepuasan individu. Bisa dikatakan, penggambaran Keiko sebagai “alat” Smile Mart mencerminkan kritik Murata tentang bagaimana masyarakat sering menilai individu dengan standar sosial yang berlaku sejak dulu tanpa mempedulikan bahwa setiap orang memiliki kompleksitasnya masing-masing.
Tekanan dan Pengaruh Sosial
Novel ini menggambarkan harapan sosial sebagai kekuatan tak kasat mata yang mendorong individu untuk mengikuti standar masyarakat yang berlaku. Keluarga, teman sekolah, dan rekan kerja Keiko tidak mampu memahami alasan ia memilih hidup yang tidak melibatkan kemajuan karier, mendapatkan pasangan hidup, atau membangun keluarga. Di masa mudanya, Keiko menunjukkan perilaku yang dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, seperti memukul teman sekolahnya sebagai cara menghentikan perkelahian atau ketika ia mengusulkan untuk memasak seekor burung mati yang tergeletak di tengah jalan. Namun, setelah beranjak dewasa, ia menyadari bahwa perilakunya dianggap tidak lazim, sehingga membuatnya berusaha untuk menekan keunikannya tersebut. Sebagai caranya “beradaptasi,” Keiko mulai meniru perilaku sosial yang ia amati dari orang lain, mempelajari cara bicara dan gestur mereka. Sikap yang ia tampilkan ke orang-orang di sekitarnya pun menjadi semacam kepalsuan, dibentuk dari reaksi dan ekspektasi sosial, alih-alih dari keaslian dirinya.
Berbeda dengan usaha Keiko untuk menyesuaikan diri, rekan kerjanya yang bernama Shiraha bersikap sebaliknya, ia dengan tegas menolak harapan sosial yang ditujukan kepadanya. Shiraha percaya bahwa masyarakat masih terjebak dalam mode seleksi alam di zaman batu, di mana pria dan wanita dinilai berdasarkan standar kesuksesan yang sebenarnya sudah tidak sesuai dengan zaman kontemporer. Penghinaan Shiraha terhadap masyarakat pun secara tidak langsung membuat Keiko menyutujui pandangannya, meskipun Keiko memilih perlawanannya terhadap standar masyarakat secara diam-diam. Namun, Murata menggambarkan Shiraha bukan sebagai pemberontak yang heroik, melainkan sebagai karakter yang pemalas dan parasit terhadap orang-orang di sekitarnya; sangat berbeda dengan Keiko yang memiliki integritas dan dedikasi terhadap pekerjaannya.
Meskipun demikian, yang menarik adalah keduanya malah menjadi sekutu karena kebutuhan mereka masing-masing. Keiko yang sudah malas mendapatkan pertanyaan dari adik dan teman-temannya tentang pasangan hidup, meminta Shiraha untuk tinggal di apartemen kecil miliknya. Berharap dengan kehadiran Shiraha di sana, membuat mereka puas dengan standar sosial yang berlaku.
Bisa dikatakan bahwa supaya keiko dan Shiraha dianggap "normal", mereka harus mengisi label sosial yang telah disepakati masyarakat sehingga melindungi mereka berdua dari pandangan-pandangan negatif dari orang-orang di sekitarnya.
Keterasingan dan Pencarian Identitas
Ilustrasi seseorang sedang khawatir tentang identitas dirinya.
(Sumber gambara: freepik.com)
Keterasingan Keiko dalam memahami lingkungan dan orang-orang di sekitarnya terasa kuat di sepanjang novel ini. Meskipun ia menunjukkan keinginan untuk menyesuaikan diri, batinnya tetap bertentangan dengan harapan sosial. Pengabdiannya sebagai pegawai Smile Mart menjadi pedang bermata dua—memberinya tujuan hidup tetapi juga membuatnya terisolasi dari orang lain. Kehidupan yang ia jalani menjadi siklus pekerjaan, yang diiringi ritual-ritual kecil sehingga menjaganya tetap terhubung dengan dunia. Keinginan Keiko supaya menjadi “alat yang berguna” menggambarkan penolakannya terhadap identitas individu, karena ia sudah menganggap dirinya sebagai salah satu bagian dari toserba, menyamakan dirinya seperti rak majalah dan mesin kopi yang ada di sana.
Murata menggunakan karakter Keiko untuk mengeksplorasi kompleksitas antara identitas pribadi dan harapan sosial, mengajak pembaca untuk mempertanyakan konstruksi tentang seseorang yang dianggap “normal” oleh masyarakat. Pendekatan Keiko terhadap hidup menunjukkan bahwa kepuasan itu subjektif dan sangat pribadi, mengkritik gagasan bahwa kebahagiaan harus sama dengan kebanyakan orang. Dengan caranya sendiri, Keiko menemukan pencerahan yang luput dari orang-orang yang terus berusaha memenuhi kesuksesan berdasarkan standar sosial. Rasa puas dan bangga dengan kehidupannya yang sederhana ini memberikan kritik tersirat terhadap obsesi masyarakat kontemporer pada produktivitas kerja dan pencapaian hidup yang mewah, sehingga mendorong pembaca untuk merenungkan kembali tentang cara manusia dalam mengejar makna hidup.
Toserba sebagai Gambaran Kecil tentang Masyarakat
Ilustrasi seorang pegawai toserba yang sedang menghitung barang belanjaan pelanggan.
(Sumber gambar: freepik.com)
Smile Mart, tempat di mana Keiko menghabiskan sebagian besar waktunya, melambangkan masyarakat Jepang yang dikendalikan oleh peraturan ketat, formalitas sopan, dan keteraturan. Di dalam toko, Keiko menjalani peran berdasarkan peraturan yang berlaku ketika ia harus mengucapkan kalimat sopan seperti “Irasshaimase!” (“Selamat datang!”) dan “Hai!” (“Ya!”) kepada para pelanggan yang baru datang tanpa mempedulikan apakah mereka akan meresponsnya. Tugas-tugas yang berulang ini memberinya ritme kehidupan, menggambarkan dorongan masyarakat terhadap kesopanan dan produktivitas. Bagi Keiko, toko tersebut mewakili dunia yang teratur, berbeda dengan kekacauan yang tidak bisa diprediksi di luar sana. Penggambaran Smile Mart oleh Murata menunjukkan bahwa masyarakat juga berfungsi seperti toko serba ada—impersonal, penuh aturan, dan tidak ada toleransi bagi mereka yang menyimpang dari standar sosial yang berlaku.
Selain itu, novel ini menyoroti lingkungan Smile Mart yang steril dan terang karena cahaya neon. Suasana monoton di toko ini pun menjadi latar bagi interaksi Keiko, menjadikannya eksis dalam dunia kerja yang mekanis. Atmosfer ini memperkuat kehidupan Keiko yang terputus dari masyarakat, saat identitasnya bersatu dengan lingkungan tak bernyawa di dalam toserba. Persatuan fisik dan emosionalnya di toserba memperkuat kritik terhadap masyarakat yang menilai produktivitas kerja lebih bernilai dari eksistensi individu, sehingga mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial dengan mengorbankan kebebasan pribadi.
***
Convenience Store Woman karya Sayaka Murata merupakan novel yang mengeksplorasi tentang individualitas, standar sosial, dan kepuasan pribadi. Melalui kehidupan Keiko yang unik dan "melawan arus", Murata menantang pembaca untuk mempertanyakan norma sosial dan hakikat identitas individu itu sendiri. Sikap Keiko yang menyadari "keunikan" dirinya memungkinkan ia menciptakan ruang bagi dirinya dalam struktur sosial yang kaku, menerima kehidupan yang dipandang rendah atau hina oleh orang lain. Dari penggambaran kehidupan Keiko yang penuh empati, Murata memberikan pengingat mendalam bahwa kebahagiaan dan makna hidup tidak selalu ditentukan oleh standar sosial. Kisah Keiko mengajak pembaca untuk merenungkan jalan hidup dan pengaruh yang membentuk pilihan kita, menyiratkan bahwa kepuasan sejati tidak terletak pada kepatuhan terhadap ekspektasi eksternal, melainkan pada penerimaan jati diri masing-masing.