Poster Joker yang dirilis pada 2019 silam.
(Sumber: imdb.com)
Karena pada Oktober tahun ini Joker: Folie à Deux sudah dirilis dan saya ingin menontonnya, saya memutuskan untuk menonton kembali film pertamanya. Film Joker (2019) yang disutradarai Todd Phillips memiliki tema kompleks tentang penyakit mental serta menampilkan dampak dari pengabaian masyarakat, trauma pribadi, dan perundungan. Melalui tokoh Arthur Fleck, film ini menyelami konsekuensi dari kondisi kesehatan mental yang tidak tertangani dengan baik dan ketidakpedulian masyarakat akibat kesenjangan ekonomi yang tajam. Karakter Arthur, yang diperankan oleh Joaquin Phoenix, menampilkan eksplorasi kritis mengenai sifat penyakit mental dan perannya dalam memicu kekerasan, dengan menyoroti kegagalan dari sisi individu maupun sistem masyarakat. Kemudian, pada tulisan ini saya ingin membahas tema-tema tersebut melalui representasi penyakit mental yang dialami Joker dan penggambaran film tentang bagaimana pengabaian dan tekanan sosial pun turut berkontribusi pada kekerasan.
Penyakit Mental sebagai Tema Utama
Arthur sedang berada di dalam bus dan menjadi pusat perhatian karena ia suka tertawa sendiri.
(Sumber: imdb.com)
Karakter Arthur Fleck dibentuk oleh penyakit mentalnya, yang memainkan peran penting dalam interaksinya dengan dunia di sekitarnya. Ia menderita depresi berat dan pseudobulbar affect—gangguan yang menyebabkan tawa tak terkendali—sehingga ia sering terisolasi dari masyarakat, disalahpahami, dan sering kali diejek. Tawanya yang tak bisa ia kendalikan pada momen-momen yang kurang tepat, seperti ketika ia berinteraksi dengan seorang anak di bus, menggambarkan ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial, yang semakin memperdalam isolasinya.
Kondisi Arthur diperburuk oleh layanan sosial Gotham City yang gagal. Penutupan program perawatan kesehatan mentalnya, yang mencerminkan pengurangan anggaran dan kurangnya dukungan institusional, membuatnya tidak memiliki akses ke obat-obatan dan konseling yang dibutuhkannya. Pengabaian ini secara signifikan berkontribusi pada kehancuran mentalnya. Film ini, saya rasa, menunjukkan bahwa penyakit mental saja tidak menyebabkan kekerasan; melainkan kegagalan sistem yang kurang memberikan fasilitas dalam menangani dan merawat kondisi-kondisi seperti ini, sehingga menciptakan sosok berbahaya seperti Joker. Kekerasan yang dilakukan Arthur muncul bukan langsung akibat penyakit mentalnya, melainkan dari frustrasi, pengabaian, dan keterasingan yang dirasakannya.
Hubungan antara Pengabaian Sosial dan Kekerasan
Arthur sedang berkonsultasi dengan psikiaternya.
(Sumber: imdb.com)
Dalam Joker, penyakit mental digambarkan dalam konteks sosial di mana kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan merajalela. Gotham City, yang mengingatkan kita pada lingkungan perkotaan di dunia nyata, dihuni oleh masyarakat yang kesenjangan ekononominya sangat mencolok, sehingga kelas bawah merasa terpinggirkan dan diabaikan. Rasa frustrasi Arthur yang menyebabkannya menjadi sosok sadis merupakan dampak dari reaksi terhadap pengabaian ini. Film ini secara eksplisit menghubungkan ketidakpedulian pemerintah kota terhadap warga yang terpinggirkan dengan perubahan Arthur menjadi karakter Joker.
Keterkaitan ini menjadi jelas ketika Arthur kehilangan akses ke obat-obatan dan layanan kesehatan mentalnya, yang melambangkan pengabaian masyarakat secara lebih luas terhadap individu-individu rentan. Ibunya, Penny, juga mewakili tema ini. Terungkap bahwa ia terlibat dalam kekerasan yang dialami Arthur ketika masih kecil, yang menyebabkan ketidakstabilan mental dan emosionalnya. Namun, ternyata Penny juga merupakan korban dari ketidakpedulian masyarakat, setelah ia merasa diabaikan oleh keluarga Wayne yang kaya setelah bertahun-tahun ia bekerja pada mereka. Pengabaian-pengabaian ini mencapai puncaknya ketika Arthur melakukan perbuatan sadis kepada orang-orang terdekatnya, seperti yang terlihat ketika ia membunuh ibunya di rumah sakit secara diam-diam. Kematian ibunya merepresentasikan pemutusan ikatan terakhir Arthur dengan kehidupan masa lalunya dan pergolakan emosional yang menyertainya.
Perubahan Arthur Fleck Menjadi Sosok Joker
Sosok Sophie yang merupakan tetangga Arthur. Ia dianggap baik dan sayang kepada Arthur bagaikan seorang kekasih, tetapi itu hanya ilusi Arthur.
(Sumber: imdb.com)
Arthur yang akhirnya berubah menjadi sosok Joker merupakan akibat dari penganiayaan, penolakan, dan pengkhianatan yang terus-menerus ia derita. Di sepanjang film, ia secara konsisten dikecewakan oleh orang-orang dan sistem masyarakat yang seharusnya peduli dan melindunginya. Tempat kerjanya pun gagal mendukungnya setelah ia diserang secara fisik dan verbal, sehingga ia dipecat. Selain itu tetangganya, Sophie, yang diidealkan sebagai cinta dalam hidupnya, ternyata hanya merupakan ilusi dalam pikirannya, menyoroti kesepian yang mendalam. Bahkan pahlawannya, Murray Franklin, yang diimpikannya sebagai figur ayah, mempermalukannya di televisi nasional. Setiap pengkhianatan ini mendorong Arthur semakin dekat untuk membentuk sisi kekerasannya sebagai Joker.
Tiga pria yang mengejek Arthur ketika berada di kereta bawah tanah. Dari ejekan tersebut memantik Arthur untuk membunuh mereka.
(Sumber: imdb.com)
Momen ikonik ketika Arthur (yang sudah berubah menjadi Joker) menembak Murray secara langsung di acara talk show-nya.
(Sumber: imdb.com)
Perubahan ini paling jelas digambarkan dalam dua momen penting. Pertama, setelah Arthur membunuh tiga pria dalam upaya membela diri di kereta bawah tanah, Arthur kabur ke toilet stasiun kemudian melakukan tarian lambat yang absurd. Adegan ini menandai awal dari penerimaannya terhadap kekerasan sebagai sarana ekspresi diri. Tidak lagi hanya menjadi sosok yang dikerdilkan masyarakat, ia menemukan tujuan baru dalam kekacauan yang diciptakannya. Momen kedua terjadi ketika ia tampil di acara talk show Murray Franklin, di mana Arthur sepenuhnya mewujudkan sosok Joker dengan menembak Murray menggunakan pistol secara langsung di televisi. Tindakan ini menegaskan perubahannya dari seseorang yang terpinggirkan dan sakit mental menjadi simbol pemberontakan terhadap penindasan masyarakat.
Dampak Kekerasan yang Ditimbulkan
Joker menari di tengah massa yang bersorak kepada dirinya.
(Sumber: imdb.com)
Sosok Joker memunculkan pertanyaan kompleks tentang hubungan antara penyakit mental dan kekerasan. Film ini seperti memberikan pesan bahwa meskipun penyakit mental bisa berperan dalam membentuk sudut pandang seseorang terhadap dunia, sering kali respons masyarakat—atau kurangnya respons tersebut—yang mengubah penderitaan personal menjadi kekerasan publik. Tindakan Arthur bukan sekadar hasil dari kondisi kesehatan mentalnya; melainkan juga reaksi terhadap kekejaman, ketidakpedulian, dan kegagalan sistematis masyarakat yang dihadapinya setiap hari.
Film ini tidak membenarkan perilaku kekerasan Arthur tetapi mengajak penonton untuk mempertimbangkan kondisi sosial yang menyebabkan tragedi semacam itu. Pembunuhan yang dilakukan Arthur memicu gerakan di seluruh kota, khususnya di kalangan kelas bawah Gotham, yang mengadopsi persona Joker sebagai simbol ketidakpuasan mereka terhadap para pejabat kota. Dengan cara ini, Joker menggambarkan bagaimana kekerasan, terutama yang berhubungan dengan masalah kelas dan ketidakadilan sosial, bisa mengakibatkan bentuk protes terhadap sistem masyarakat yang rusak. Meskipun demikian, film ini juga menyoroti dampak berbahaya dari kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri, seperti yang terlihat dalam tarian akhir Arthur di depan massa yang bersorak.
***
Joker karya Todd Phillips menghadirkan eksplorasi provokatif tentang penyakit mental dan kekerasan, menggambarkan penderitaan yang dirasakan seseorang ketika tidak tertangani dengan baik serta diperburuk oleh pengabaian masyarakat, sehingga mengarah pada konsekuensi yang menghancurkan. Perubahan sosok Arthur Fleck menjadi Joker bukan hanya kisah tentang seorang pria sakit mental yang menjadi kejam; melainkan kritik yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat gagal melindungi warga yang paling rentan.
Penggambaran penyakit mental dalam film ini mengajak penonton untuk merenungkan hubungan antara individu dan ketidakadilan sistematis, yang akhirnya menunjukkan bahwa kekerasan adalah gejala dari penyakit masyarakat yang jauh lebih besar. Melalui kisah Arthur, Joker menekankan perlunya empati, perawatan kesehatan mental yang memadai, serta komitmen sosial untuk menangani akar penyebab penderitaan individu dan kekerasan kolektif.