Sebagai alat komunikasi utama manusia, bahasa bermanfaat lebih dari sekadar penyampai pesan. Dalam konteks kolonialisme, bahasa ternyata bisa menjadi senjata ampuh dalam perjuangan melawan dominasi dan hegemoni penjajah. Lantas, Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan karya Hilmar Farid ini merupakan buku yang mengulas secara rinci bagaimana bahasa digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia, khususnya pada periode menjelang Sumpah Pemuda 1928.
Pergerakan Nasional dan Konsensus Bahasa
(Sumber: lamongankab.go.id)
Momen Sumpah Pemuda yang terjadi pada 1928 merupakan peristiwa bersejarah ketika bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan. Keputusan ini tidak muncul secara mendadak, melainkan dari hasil perdebatan panjang di kalangan tokoh pergerakan nasional. Awalnya, organisasi-organisasi bumiputra memakai berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah, Melayu, Tionghoa, dan sebagian kecil bahasa Belanda. Kemudian, untuk memerangi hegemoni kolonial Belanda, para tokoh pergerakan nasionalis menyadari pentingnya satu bahasa yang bisa menyatukan dari berbagai latar belakang etnis dan budaya.
Pergeseran Makna Bahasa
Hilmar Farid menyoroti bahwa penggunaan dan makna bahasa mengalami pergeseran seiring dengan perubahan situasi politik dan sosial. Misalnya, istilah "proletar" yang digunakan sebelum tahun 1920 digantikan oleh "ra'jat" setelah tahun 1927. Bisa dikatakan pergeseran ini mencerminkan bahasa pergerakan yang adaptif terhadap konteks lokal dan kebutuhan untuk membedakan diri dari narasi kolonial. Selain itu, media yang berhaluan nasionalis mulai menggantikan istilah-istilah yang dipakai oleh surat kabar Belanda untuk mengartikulasikan kepentingan dan perjuangan rakyat Indonesia.
Bahasa sebagai Media Konsolidasi Politik
Surat kabar Medan-Prijaji yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo.
(Sumber: id.wikipedia.org)
Bahasa memainkan peran penting dalam pergolakan sosial dan konsolidasi politik di Hindia Belanda. Penggunaan bahasa Melayu dalam berbagai dialek, baik tinggi maupun rendah, menunjukkan perbedaan kelas sosial pada zaman itu. Bahasa Melayu pergerakan yang merupakan campuran dari berbagai bahasa termasuk Belanda, Jawa, dan Tionghoa, menjadi alat komunikasi utama dalam penerbitan dan pertemuan kaum pergerakan. Hilmar pun menunjukkan bagaimana percetakan dan penerbitan memperkuat penyebaran bahasa Melayu pergerakan sehingga mengatasi pembatas dan larangan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial.
Tantangan dan Upaya Pemerintah Kolonial
Di tengah perang bahasa yang mulai bermunculan, pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam menghadapi perlawanan ini. Mereka berusaha mengontrol penyebaran informasi dan pengetahuan melalui pendidikan yang ditujukan untuk meredam pergerakan politik. Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkenal, menyusun sistem pendidikan yang berfokus pada keterampilan teknis seperti pertanian yang tujuannya untuk mengalihkan perhatian masyarakat pribumi dari isu-isu politik. Di samping itu, Balai Poestaka yang didirikan pada 1917, bertugas menyunting dan menerbitkan bacaan yang telah disesuaikan dengan standar pemerintah kolonial sehingga menghilangkan kata-kata dan istilah-istilah yang dianggap subversif.
***
Dalam Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan, Hilmar Farid menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sebagai medan pertempuran ideologi. Para pejuang kemerdekaan Indonesia menggunakan bahasa untuk membangun identitas nasional dan melawan dominasi kolonial. Dengan demikian, dari perjuangan ini ternyata bahasa Indonesia bukan hanya menjadi alat persatuan, tetapi juga simbol identitas dan perlawanan bangsa yang merdeka.
Lebih lanjut, pemahaman mendalam tentang peran bahasa dalam pergerakan nasional ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana kekuatan kata-kata bisa mengubah jalannya sejarah. Buku ini pun menjadi sumbangan penting dalam studi sejarah Indonesia, terutama bagi kita yang ingin memahami dinamika perlawan terhadap kolonialisme melalui bahasa.