Kisah Gadis Muda Palestina Melawan Penjajahan Israel


Memoar Ahed Tamimi berjudul They Called Me a Lioness: A Palestinian Girl's Fight for Freedom yang ditulis bersama Dena Takruri, memberikan wawasan mendalam dan menggugah pikiran pembaca tentang kehidupan dan perjuangan seorang gadis muda Palestina yang hidup di bawah penjajahan Israel. Buku ini pun dimulai dengan: 

"I sit shivering in the tiny, freezing cell of an Israeli interrogation center, my wrists and ankles sore from the tightly clasped shackles digging into them." 

Pembukaan ini memberikan nada narasi yang emosional sekaligus kuat, menyoroti realitas nyata yang dihadapi masyarakat Palestina.

Tempat Bernama Nabi Saleh

Potret Nabi Saleh, Palestina, di mana Ahed Tamimi tumbuh dan merasakan kekejaman penjajahan Israel.
(Sumber: en.wikipedia.org)

Ahed mengajak pembaca menelusuri Nabi Saleh, sebuah desa indah dekat Ramallah, di mana kehangatan masyarakatnya serta keindahan lanskap sangat kontras dengan kejamnya pendudukan Israel. Nabi Saleh lebih dari sekadar latar tempat, melainkan memiliki ciri khasnya tersendiri dengan batu-batu yang disinari matahari, kebun zaitun, dan persaudaraan yang kuat. Penduduk desa ini memiliki ikatan yang kuat karena dibentuk melalui perjuangan kolektif dan misi mereka untuk mencapai kebebasan. Situasi tersebut sangat penting untuk memahami kekuatan dan persatuan yang dimiliki Ahed dan warga desa lainnya.

Tragedi Pribadi dan Kebangkitan Politik

Salah satu momen di memoar ini adalah ketika Mustafa Tamimi, sepupu Ahed, secara tragis terbunuh oleh tabung gas air mata yang ditembakkan dari jarak dekat oleh seorang tentara Israel ketika demonstrasi damai sedang berlangsung. Insiden ini, dan juga banyak insiden lainnya yang akan dijelaskan di memoar ini, menggambarkan dampak buruk pendudukan ilegal Israel terhadap kehidupan masyarakat Palestina. Kisah Ahed didominasi dengan momen duka, kemarahan, dan ketidakberdayaan, terutama ketika ia menceritakan bahwa pihak Israel merasa tidak bertanggung jawab atas kematian Mustafa. Rasa ketidakadilan yang terus berulang terlihat jelas ketika Ahed mengalami kenyataan pahit bahwa orang-orang Israel yang menjadi tersangka atas kekejaman terhadap orang-orang Palestina, sering tidak mendapat hukuman apa pun.

Video yang menampilkan sosok Ahed Tamimi (yang saat itu masih berumur 14 tahun) yang giat menyuarakan kemerdekaan Palestina.
(Sumber: youtube.com/@ajplus)

Buku ini pun mencapai momen penting ketika sepupu Ahed yang lain yang masih berumur 15 tahun, Mohammed Tamimi, ditembak di kepala oleh seorang tentara Israel, sehingga menyebabkan koma dan operasi panjang untuk mengangkat sebagian tengkoraknya. Peristiwa ini menjadi pemantik bagi pemberontakan Ahed yang sangat terkenal: menampar seorang tentara Israel. Viralnya video dari kejadian tersebut menarik perhatian dunia internasional terhadap perjuangan Palestina dan menyoroti kondisi menyedihkan di Nabi Saleh.

Lahir di Keluarga Aktivis

Bassem Tamimi bersama istrinya, Nariman (kiri), dan salah satu anaknya, Ahed Tamimi (kanan).
(Sumber: samidoun.net)

Kisah Ahed sangat berhubungan dengan sejarah aktivisme keluarganya. Orang tuanya, khususnya ayahnya yang bernama Bassem Tamimi, merupakan seorang Palestina yang sering bolak-balik menjadi tahanan Israel. Meskipun begitu, sejak usia muda ia tetap teguh terhadap perjuangan yang dilakukannya karena ia merasa sudah sewajibnya ia membela kemerdekaan Tanah Air-nya. Tekad yang ditunjukkan ayahnya membentuk pola pikir dan identitas Ahed untuk ikut mengobarkan semangat dalam memperjuangkan keadilan terhadap rakyat Palestina.

Masuk Penjara

Ahed Tamimi ketika resmi menjadi tahanan Israel.
(Sumber: aljazeera.com)

Ahed yang ditangkap akibat insiden tamparan tersebut, menarik perhatian global terhadap perlakuan dan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, terutama perempuan dan anak di bawah umur. Penjelasannya yang jujur mengenai interogasi yang dilakukan petugas Israel kepada dirinya, mulai dari intimidasi sampai pelecehan seksual supaya Ahed mengaku, memberikan gambaran sekilas tentang taktik psikologis yang digunakan terhadap tahanan Palestina. 

Walaupun ditempatkan di dalam penjara sempit dan sesak, Ahed menjadi lebih kuat dan memantik semangat yang ada dalam dirinya. Ia pun menemukan inspirasi dari sesama tahanan seperti Khalida Jarra, yang memberikan edukasi kepada para tahanan remaja di sana tentang hukum internasional dan perlawanan terhadap penjajahan Israel.

Suara Pembangkangan

Spanduk yang menampilkan keputusan Donald Trump untuk memindahkan kedutaan besar AS ke Jerusalem pada 2017 silam.
(Sumber: latimes.com)

Di sepanjang kisah, Ahed tanpa ragu mengkritik pihak-pihak yang ia yakini terlibat dalam penindasan rakyat Palestina. Ia dengan tegas dan berani mengecam Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, atas sikapnya yang lunak terhadap pemerintah Israel, sehingga Ahed menganggapnya sebagai pengkhianat dan pejabat yang mengambil keuntungan pribadi. Selain itu, keberanian Ahed untuk menghadapi tokoh-tokoh internasional yang berpengaruh, termasuk kemarahannya kepada presiden AS saat itu (Donald Trump) yang memindahkan ibu kota Israel ke Jerusalem beserta kedutaan besar AS yang awalnya berada di Tel Aviv, menyoroti pembelaan Ahed yang tak kenal takut untuk membela hak-hak Palestina.

***

They Called Me a Lioness: A Palestinian Girl's Fight for Freedom bukan hanya tentang kisah personal Ahed, melainkan bukti kekuatan dan keteguhan kolektif masyarakat Nabi Saleh. Kisah Ahed menunjukkan kemarahan dan harapan, keputusasaan dan tekad, serta menyoroti kompleksitas hidup di bawah penjajahan Israel. Suaranya yang tegas dalam menyerukan perubahan dan perhatian kepada khalayak luas, menjadikan memoar ini sebagai bacaan penting bagi siapa pun yang ingin mendalami dan memahami sisi kemanusian dalam konflik Palestina-Israel.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.