Film Oppenheimer karya Christopher Nolan dirilis pada Juli 2023 lalu dan betapa film tersebut membuat saya semakin penasaran dengan sosok J. Robert Oppenheimer. Saya pun mulai mencari informasi di internet dan menemukan bahwa salah satu referensi Nolan dalam membuat film tersebut berdasarkan buku American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin. Lantas, saya langsung mencarinya di Kindle dan membelinya.
Buku ini merupakan biografi dari J. Robert Oppenheimer, seorang fisikawan jenius yang memimpin Proyek Manhattan dalam pengembangan bom atom. Namun, di balik keberhasilannya menciptakan senjata yang mengakhiri Perang Dunia II, Oppenheimer menghadapi dilema moral yang menghantuinya hingga akhir hayat. Buku ini pun tidak hanya mengungkap kisah seorang ilmuwan, tetapi juga menggambarkan ketegangan politik, etika ilmu pengetahuan, dan pengkhianatan yang dialaminya.
Kejeniusan dan Kepemimpinan di Los Alamos
J. Robert Oppenheimer lahir dalam keluarga kaya di New York pada tahun 1904 dan menunjukkan kecerdasan luar biasa sejak muda. Pendidikan ilmiahnya membawanya ke Harvard, Cambridge, dan Göttingen, di mana ia berkontribusi dalam pengembangan mekanika kuantum. Namun, kejeniusan akademiknya bukan satu-satunya yang menonjol, ia juga dikenal karena kemampuannya menginspirasi orang lain dan menyatukan para ilmuwan.
Ketika Perang Dunia II memuncak, pemerintah Amerika Serikat menginisiasi Proyek Manhattan untuk mengembangkan senjata nuklir sebelum Nazi Jerman melakukannya. Oppenheimer ditunjuk sebagai pemimpin ilmiah proyek ini, meskipun sebelumnya ia tidak memiliki pengalaman administratif. Di laboratorium Los Alamos, ia berhasil menyatukan lebih dari 6.000 ilmuwan dan insinyur, termasuk tokoh-tokoh besar seperti Enrico Fermi dan Richard Feynman. Di bawah kepemimpinannya, bom atom pertama diuji dalam ledakan Trinity pada 16 Juli 1945 di New Mexico, yang kemudian diikuti dengan serangan ke Hiroshima dan Nagasaki.
Dilema Moral dan Penolakan terhadap Bom Hidrogen
Meskipun Oppenheimer awalnya mendukung pengembangan bom atom, ia segera diliputi rasa bersalah setelah menyaksikan dampaknya. Dikutip dari Bhagavad Gita, ia berkata, "Sekarang aku menjadi Kematian, penghancur dunia." Kesadaran ini mendorongnya untuk menyerukan kontrol internasional atas senjata nuklir supaya tragedi seperti Hiroshima dan Nagasaki tidak terulang.
Penolakannya terhadap pengembangan bom hidrogen—senjata yang jauh lebih dahsyat—membuatnya bersitegang dengan pihak militer dan politisi garis keras seperti Lewis Strauss dan Edward Teller. Pada era Perang Dingin dan paranoia antikomunis tahun 1950-an, sikap kritis Oppenheimer membuatnya dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional.
Pengkhianatan dan Kehancuran Karier
Pada 1954, Oppenheimer menghadapi sidang pencabutan izin keamanannya oleh Komisi Energi Atom AS. Dalam sidang yang penuh tekanan dan manipulasi politik ini, ia dihina dan disudutkan oleh rekan-rekannya sendiri. Tuduhan bahwa ia memiliki hubungan dengan kaum komunis dan kegagalannya melaporkan pendekatan Soviet semakin memperburuk situasi. Walaupun tidak pernah terbukti bersalah melakukan pengkhianatan, Oppenheimer kehilangan statusnya sebagai penasihat ilmiah utama pemerintah.
Pengkhianatan ini membuatnya tersingkir dari dunia kebijakan nuklir dan sains pemerintahan. Ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai direktur Institute for Advanced Study di Princeton dan mengasingkan diri di St. John, Kepulauan Virgin. Ia meninggal dunia akibat kanker tenggorokan pada 1967.
Oppenheimer sebagai Simbol Dilema Ilmuwan
Kisah Oppenheimer dalam American Prometheus mencerminkan paradoks besar dalam sejarah sains: bagaimana seorang ilmuwan dapat menciptakan sesuatu yang revolusioner sekaligus menghancurkan. Buku ini menyoroti kompleksitas kepribadiannya—seorang ilmuwan brilian yang dipuja dan kemudian dikhianati oleh negaranya sendiri.
Lebih dari sekadar biografi, buku ini juga mengangkat isu etika dalam ilmu pengetahuan dan tanggung jawab ilmuwan terhadap kemanusiaan. Seperti mitos Prometheus yang mencuri api dari para dewa untuk manusia tetapi kemudian dihukum, Oppenheimer pun harus menanggung konsekuensi dari temuannya. Sampai saat ini, ia tetap menjadi simbol peringatan bagi dunia tentang bahaya senjata nuklir dan batasan moral terhadap kemajuan teknologi.