Pertama kali saya membaca novel Max Havelaar pada 2015 silam sebagai usaha saya agar lebih mengenal bacaan yang dianggap sebagai karya sastra. Sebab, pada awal tahun itu juga, saya memilih sastra sebagai konsentrasi di semester enam perkuliahan (kisah tentang pilihan konsentrasi sastra pernah saya tulis di sini). Setelah membaca novel tersebut, kesan saya kepada tokoh Max Havelaar sangatlah positif karena ia sebagai asisten residen Lebak membela rakyatnya yang dizalimi oleh pemerintah kolonialisme Belanda dan bupati di sana.
Sosok Multatuli yang dijadikan patung, berada di Amsterdam, Belanda. (Sumber: commons.wikimedia.org) |
Namun, pada 2023 ini, saya membaca buku berjudul Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli karena ternyata apa yang ditulis Multatuli--nama pena Eduard Douwes Dekker--di novelnya tersebut tidaklah seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, termasuk saya, yang membela kezaliman kolonialisme Belanda. Melainkan, setelah diteliti oleh Robert Nieuwenhuys (dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sitor Situmorang), Multatuli merupakan pejabat yang membela egonya sendiri dan tidak memahami adat istiadat di Lebak. Selain itu, Max Havelaar yang dianggap sebagai tokoh antikolonialisme, ternyata ia sendiri yang mendukung kolonialisme. Sebab, Dekker telah gegabah memandang masalah yang terjadi di Lebak dengan kacamata "humanis" ala Eropa kepada rakyat pribumi. Padahal, gejala-gejala yang terjadi di sana penyebabnya adalah kolonialisme, tapi ia tidak sedikit pun menyalahkan sistem kolonial yang dilakukan oleh negaranya.
Dengan demikian, dari buku Mitos dari Lebak ini, saya pun mendapatkan sudut pandang baru dari sebuah peristiwa yang sangat penting. Selain itu, peran Robert Nieuwenhuys yang secara objektif mencari dan menguji kebenaran dari peristiwa di Lebak pun harus sangat diapresiasi karena ia telah menunjukkan kenyataan lain dari pemahaman yang selama ini telah diyakini oleh kebanyakan orang.