Jika sebagian orang Indonesia merasa bahwa orang Kaukasia (bule) adalah ras superior dan merasa takjub ketika melihatnya, bahkan berpikir mereka memiliki banyak privilese, buku berjudul Ich Komme aus Sewon dari Katharina Stögmüller ini bisa dibilang membantah pemikiran tersebut. Ia sendiri memiliki darah Austria (ayah) dan Indonesia (ibu) serta memiliki fisik seperti orang-orang Kaukasia Eropa pada umumnya.
Katharina dan bukunya berjudul Ich Komme aus Sewon. (Sumber gambar: twitter.com/KStogmuller) |
Katharina lahir di Austria kemudian pindah ke Indonesia ketika masih kecil, membuatnya masih merasa asing dengan kampung halaman ibunya di Yogyakarta. Saat itu, ia hanya bisa berbahasa Jerman dan belum bisa berbahasa Indonesia atau Jawa, sehingga ia pun sulit memiliki teman ketika masuk TK atau di daerah rumahnya. Saat beranjak remaja dan masuk kuliah, stigma tentang penampilannya yang berkulit putih pun sering disalahpahmi oleh orang lain yang baru pertama melihatnya. Mereka sering mengajaknya berbicara bahasa Inggris, padahal Katharina sendiri merasa bahasa Inggrisnya biasa saja dan cenderung fasih berbahasa Jawa. Ia juga, ternyata, lebih menyukai kulit sawo matang yang dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia dibandingkan kulit putihnya yang sering sensitif terkena sinar matahari. Apalagi, ketika ia plesiran di tempat wisata Yogyakarta, ia dan ayahnya sering dikenai tarif turis luar negeri yang lebih mahal, padahal ia sudah bertahun-tahun tinggal di Sewon, Bantul.
Dari buku ini pun saya jadi mendapatkan sudut pandang baru tentang kehidupan seseorang yang memiliki darah blasteran (Austria-Indonesia)—yang malah sering diidamkan oleh sebagian masyarakat asli Indonesia yang ingin berkulit putih—serta kesehariannya yang sebenarnya malah terasa biasa saja dan tidak sespesial seperti orang lain bayangkan. Selain itu, Katharina sendiri menjelaskan betapa birokrasi di Indonesia membuatnya cukup lama untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia ketika umurnya sudah 21 tahun.