Sebagai penikmat tayangan sepak bola, mengetahui Liverpool yang akhirnya bisa memenangi trofi English Premier League di musim 2019/20—setelah tiga puluh tahun penantian—menjadi hal yang menarik untuk dicari tahu lebih lanjut. Saya pun akhirnya menemukan buku berjudul Believe Us: How Jürgen Klopp Transformed Liverpool into Title Winners yang ditulis oleh Melissa Reddy.
Buku ini dimulai dengan menceritakan kondisi Liverpool ketika Brendan Rodgers masih menjadi manajer di sana. Di tangan Rodgers, sebenarnya Liverpool hampir menjadi juara English Premier League pada musim 2013/14. Namun, karena di beberapa pertandingan terakhir, mereka tidak bermain secara konsisten untuk menang, sehingga Manchester City pun menyalipnya dan menjadikan klub biru langit tersebut sebagai juaranya. Kemudian, di musim 2014/15, performa Liverpool malah menurun dibandingkan musim sebelumnya dan membuat mereka berada di posisi enam klasemen; ditambah mereka dibantai Stoke City dengan skor 6-1 menjelang berakhirnya kompetisi. Pada akhirnya, karena dirasa performa yang tak kunjung membaik, para petinggi Liverpool pun memecat Rodgers di awal musim 2015/16.
Brendan Rodgers ketika masih menjadi manajer Liverpool. (Sumber: bolaskor.com) |
Dari evaluasi yang dilakukan oleh para petinggi terhadap performa Liverpool di beberapa pertandingan terakhir, akhirnya Jürgen Klopp—yang beberapa bulan sebelumnya mengundurkan diri sebagai manajer Borussia Dortmund—ditunjuk menjadi manajer Liverpool selanjutnya. Setelah menduduki jabatannya, Klopp mulai mengatur strategi dan kedisiplinan untuk ditanamkan kepada seluruh pemain dan staf di sana, sehingga mereka mendapatkan kepercayaan diri kembali untuk menghadapi setiap pertandingan.
Pada musim pertamanya menjadi manajer (2015/16), sebenarnya Klopp berhasil membawa Liverpool mencapai final EFL Cup (melawan Manchester City) dan Europa League (melawan Sevilla). Namun, kedua final tersebut gagal dimenangkannya. Selanjutnya, yaitu final Champions League pada musim 2017/18 (melawan Real Madrid), Liverpool juga gagal. Efek dari kekalahan di tiga final tersebut tidak membuat Klopp putus asa dan terus menanamkan semangat kepada tim yang dipimpinnya. Ia pun menanggapi kegagalan tersebut dengan mengatakan:
“You can lose big if you are prepared to win big. So I understand it like this. I lost a lot, a lot of times and it was always really hard, but I learned the next day, life gives you the chance again so you need to be ready to use it.”
Jürgen Klopp berjalan melintasi trofi UCL yang gagal dimenangkannya setelah Liverpool dikalahkan Real Madrid dengan skor 3-1 pada musim 2017/18. (Sumber: bbc.com) |
Trofi pertama Jürgen Klopp bersama Liverpool setelah mengalahkan Tottenham Hotspur dengan skor 2-0 di final UCL musim 2018/19. (Sumber: liverpoolfc.com) |
Bagi saya, buku ini cukup menginspirasi sekaligus memahami bahwa kegagalan adalah hal yang kemungkinan besar terjadi di dalam hidup. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya dan menghargai proses yang sedang berlangsung. Kegagalan yang dialami Liverpool dalam tiga final sebelumnya, malah membuat mereka menjadi tim yang konsisten dan selalu menunjukkan performa terbaiknya, sehingga mereka bisa memenangkan trofi Champions League, UEFA Super Cup, dan FIFA Club World Cup di tahun 2019.
Namun, di sisi lain sebagai pendukung Manchester United yang adalah rival Liverpool, sebenarnya saya jadi "kesal" juga karena Klopp berhasil menjadikan Liverpool sebagai tim yang kembali ditakuti sejak tiga tahun terakhir. Efeknya, Liverpool sering membuat Manchester United kewalahan ketika melawan mereka; yang terbaru adalah Manchester United dipecundangi Liverpool dengan skor 0-5 di Old Trafford pada 24 Oktober 2021.