Ketika melihat buku berjudul Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri di salah satu aplikasi belanja daring, saya langsung tertarik dengan judulnya. Alasannya, di umur saya yang sudah mencapai lebih dari dua puluh ini, saya suka merasa khawatir tentang masa depan saya, bahkan sampai mempertanyakan tentang keadaan diri saya sekarang. Setelah saya yakin buku tersebut memang cocok untuk dibaca, saya pun membelinya.
Dalam buku ini, Thomas Hidya Tjaya mengajak pembaca untuk memahami pemikiran Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis pertama yang berusaha menggali makna keberadaan manusia. Pemikiran Kierkegaard yang kompleks dan penuh paradoks memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana manusia mengalami pergulatan batin dalam mencari kebenaran dan menjadi dirinya sendiri.
Subyektivitas Kebenaran dan Pergulatan Batin
Kierkegaard menolak pendekatan filsafat Hegel yang mengutamakan sistem rasional dan objektivitas dalam memahami kebenaran. Baginya, kebenaran tidak semata-mata sesuatu yang objektif, tetapi juga bersifat subyektif karena manusia mengalami pencarian makna yang berbeda-beda. Setiap individu memiliki perjalanan eksistensial yang unik, di mana pergulatan batin menjadi bagian dari pencarian jati diri.
Konsep ini relevan dengan pengalaman pribadi banyak orang, terutama di usia dewasa muda. Ketika masih anak-anak, cita-cita dan masa depan tampak sederhana, namun seiring bertambahnya usia, muncul pertimbangan yang lebih kompleks. Pergulatan dalam menentukan jalan hidup mencerminkan bahwa kebenaran tidak datang dari luar semata, melainkan dari refleksi dan pengalaman subyektif individu.
Tahapan Eksistensi Manusia
Dalam pemikirannya, Kierkegaard membagi perjalanan eksistensial manusia ke dalam tiga tahap utama: eksistensi estetis, eksistensi etis, dan eksistensi religius.
1. Eksistensi Estetis: Pada tahap ini, individu mencari kebahagiaan melalui kesenangan duniawi dan menghindari penderitaan. Hidup dalam tahap ini sering kali ditandai dengan ketidakpedulian terhadap makna yang lebih dalam.
2. Eksistensi Etis: Pada tahap ini, individu mulai menyadari tanggung jawab moral dan etika dalam hidupnya. Ia berusaha menjalani hidup yang bermakna dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
3. Eksistensi Religius: Ini merupakan tahap tertinggi ketika individu mengakui keterbatasannya dan bergantung sepenuhnya pada Yang Transenden. Pada tahap ini, manusia tidak lagi mencari kepastian logis, melainkan menerima ketidakpastian dengan iman.
Ketiga tahap ini menggambarkan bagaimana manusia terus berkembang dalam upayanya untuk menemukan makna hidup. Kierkegaard percaya bahwa tahap akhir, yaitu eksistensi religius, adalah pencapaian tertinggi dalam perjalanan eksistensial manusia.
Lompatan Iman dan Keberanian Menghadapi Ketidakpastian
Salah satu konsep fundamental dalam pemikiran Kierkegaard adalah "lompatan iman" (leap of faith). Dalam keterbatasan manusia memahami realitas yang objektif, satu-satunya cara untuk mencapai makna sejati adalah dengan melompat ke dalam iman, suatu tindakan keberanian yang melampaui rasionalitas. Iman bukan sekadar kepercayaan dogmatis, tetapi bentuk keberanian eksistensial dalam menghadapi absurditas dan ketidakpastian hidup.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak keputusan yang harus diambil tanpa adanya kepastian mutlak. Memilih karier, hubungan, atau keyakinan adalah bentuk dari pergulatan eksistensial yang menuntut keberanian untuk menerima ketidakpastian. Kierkegaard mengajarkan bahwa iman bukanlah bentuk kelemahan, melainkan justru kekuatan untuk menerima keterbatasan manusia dan tetap bergerak maju.
Menjadi Diri Sendiri dalam Dunia yang Absurd
Salah satu pesan utama dari pemikiran Kierkegaard adalah pentingnya menjadi diri sendiri. Hidup yang otentik hanya bisa dicapai jika individu berani menghadapi pergulatan batinnya dan tidak terjebak dalam konformitas sosial yang mengasingkan dirinya dari makna sejati keberadaan. Pengabaian terhadap penghayatan subyektivitas akan membawa seseorang pada "kehidupan yang tidak otentik," ketika individu hidup bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai refleksi dari harapan dan ekspektasi orang lain.
Pemikiran ini menjadi sangat relevan di era modern, saat media sosial dan tekanan sosial sering membuat individu kehilangan identitasnya. Pada upaya mencari pengakuan eksternal, banyak orang justru mengorbankan esensi diri mereka. Kierkegaard mengingatkan bahwa menjadi diri sendiri adalah perjalanan yang sulit dan penuh pergulatan, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk mencapai keberadaan yang autentik.
***
Melalui buku ini, Thomas Hidya Tjaya berhasil menyajikan pemikiran Kierkegaard secara lebih mudah dipahami bagi pembaca awam. Kierkegaard mengajarkan bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah perjalanan yang penuh pergulatan. Dalam pencarian kebenaran, manusia harus berani menghadapi ketidakpastian, menjalani hidup secara otentik, dan mengambil "lompatan iman" untuk mencapai makna sejati.
Bagi mereka yang tengah mengalami kegelisahan eksistensial dan mempertanyakan makna hidup, pemikiran Kierkegaard bisa menjadi refleksi yang mendalam. Menjadi diri sendiri bukanlah proses yang mudah, melainkan melalui pergulatan yang terus-menerus, manusia dapat menemukan jati dirinya dan menjalani hidup dengan lebih bermakna.