Eka Kurniawan, salah satu penulis terkemuka Indonesia, memberikan perspektif lain tentang dunia sastra dalam buku Senyap yang Lebih Nyaring. Buku ini bukan sekadar kumpulan esai, melainkan refleksi mendalam atas pengalaman membaca, menulis, dan memahami sastra. Sebagai kumpulan tulisan dari blog pribadinya antara tahun 2012 sampai 2014, buku ini menghadirkan pandangan jujur dan berani tentang berbagai aspek dunia literasi, mulai dari penulis-penulis yang memengaruhinya, hingga fenomena dalam dunia penerbitan.
Kebebasan Menulis dan Keberanian Bersuara
Salah satu gagasan utama yang digaungkan dalam buku ini adalah kebebasan menulis. Eka menegaskan bahwa seorang penulis harus memiliki keberanian untuk menulis tanpa dibatasi oleh norma-norma moral yang kaku atau tekanan eksternal. Ia menolak konsep bahwa sastra harus selalu menyampaikan pesan moral tertentu, karena yang lebih utama adalah bagaimana tulisan itu dieksekusi. Pendapat ini mengingatkan kita pada kutipan dari Roberto Bolaño yang disinggung dalam bukunya:
"Seorang penulis harus menulis tanpa mengharapkan tepuk tangan dari orang lain, karena yang terpenting adalah kepuasan pribadi terhadap karya yang dihasilkan".
Sastra sebagai Labirin Bacaan Tak Berujung
Melalui berbagai ulasan dan refleksi, Eka menunjukkan bagaimana sastra adalah perjalanan tanpa ujung. Ia banyak membahas penulis besar dunia seperti Haruki Murakami, Roberto Bolaño, Cervantes, dan Ernest Hemingway, yang telah membentuk cara pandangnya terhadap sastra. Di sini, ia menempatkan dirinya bukan hanya sebagai penulis, melainkan juga sebagai pembaca yang terus mencari, tersesat, dan menemukan kembali jalannya dalam labirin bacaan yang tak berkesudahan. Buku ini mengajarkan bahwa membaca dan menulis adalah proses yang saling berkaitan, dan bahwa semakin banyak seseorang membaca, semakin tajam pula kepekaannya dalam menulis.
Kritik terhadap Dunia Sastra dan Penerbitan
Dalam bagian lain, Eka Kurniawan juga menyoroti berbagai aspek dunia perbukuan, termasuk bagaimana seseorang menilai buku tanpa membacanya. Ia mengibaratkan membeli buku seperti membeli kucing dalam karung—sebuah keputusan yang didasarkan pada rekomendasi atau ulasan, tetapi tidak menjamin kepuasan setelah membacanya. Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh media sosial, di mana rekomendasi dan tren cepat berubah, pemikiran ini tetap relevan.
Selain itu, Eka juga mengkritik para penulis yang hanya menjejali karyanya dengan pesan moral tanpa memperhatikan aspek estetika dalam menulis. Ia berpendapat bahwa menulis yang baik harus tetap mengutamakan kualitas naratif dan bukan sekadar alat untuk menyampaikan ajaran moral. Pandangan ini sekaligus menjadi teguran bagi dunia sastra Indonesia yang sering terjebak dalam dikotomi antara sastra yang dianggap “bermakna” dan sastra yang mengutamakan hiburan.
Suara Nyaring dari Kesunyian
Senyap yang Lebih Nyaring adalah refleksi pribadi seorang penulis yang tidak hanya membicarakan sastra, tetapi juga bagaimana sastra membentuk dirinya. Buku ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa menulis bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi juga sebuah ekspresi kebebasan. Dengan gaya yang lugas, terkadang sinis, tetapi tetap tajam dan menghibur, Eka Kurniawan berhasil menghadirkan sebuah buku yang relevan bagi siapa saja yang mencintai dunia literasi.
Sebagaimana judulnya, buku ini membuktikan bahwa dalam kesenyapan, suara pemikiran yang autentik bisa terdengar lebih nyaring. Dan bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang dunia sastra dari perspektif seorang penulis yang telah banyak makan asam garam, buku ini adalah salah satu bacaan yang wajib dimiliki.