Film Spider-Man yang dirilis pada 2002 lalu adalah awal bagi saya untuk menyukai karakter Peter Parker sekaligus pahlawan super bernama sama seperti judul film. Ia berpenampilan biasa saja, bahkan terkesan culun, dan malu-malu untuk mengungkapkan perasaannya terhadap perempuan yang ia suka. Meskipun begitu, Peter adalah tipe lelaki pekerja keras karena ia sadar diri bahwa ia berasal dari keluarga yang sederhana. Mengetahui hal tersebut, saya jadi bercermin kepada diri saya sendiri, lalu ada perkataan di dalam pikiran, “Wah, karakter ini gue banget!”.
Dari perkenalan karakter di film Spider-Man, ada banyak medium lain tentang Spider-Man yang bisa saya nikmati, salah satunya dari novel. Saya mendapatkan novel berjudul Spider-Man: Forever Young karya Stefan Petrucha dari Hessa sebagai hadiah ulang tahun saya pada Oktober 2019 lalu. Sekaligus, itu adalah novel pertama tentang Spider-Man yang saya baca.
***
Di novel Spider-Man: Forever Young, kisahnya berdasarkan dari komik klasik berjudul Stone Tablet Saga, kemudian disesuaikan dengan kondisi sosial saat ini. Meskipun saya belum membaca komiknya—karena saat masih kecil, akses untuk membaca komik Amerika sungguh sulit—saya tetap merasa nyambung dengan alur cerita dan karakter yang dikisahkan di dalam novel. Saya pun seperti diajak melayang mengelilingi kota New York sebagai Spider-Man menggunakan jaringnya dan membasmi musuh-musuhnya yang sedang membuat keributan.
Kisah di dalam novel sebenarnya sederhana saja. Seperti di filmnya yang sudah saya jelaskan di awal, Peter Parker sedang mengalami kondisi finansial yang kurang menguntungkan. Aktivitasnya menjadi Spider-Man membuatnya jadi sulit untuk berkonsentrasi menjalani kehidupan seperti biasanya sebagai mahasiswa. Selain itu, biaya untuk dirinya supaya terus berada di universitas berasal dari beasiswa yang ia dapatkan karena ia mahasiswa berprestasi. Menyadari bahwa ia membutuhkan upah tambahan, ia bekerja sebagai fotografer freelance di The Daily Bugle. Pekerjaannya adalah mendapatkan foto candid Spider-Man yang bagus ketika beraksi melawan musuhnya. Dengan begitu, ia pun memanfaatkan identitas tersembunyinya itu untuk mendapatkan foto-foto keren. Tapi sayangnya, ketika Peter sedang mengambil foto dirinya, hal itu malah membawanya kepada masalah. Masalah tersebut berupa batu misterius yang sangat diinginkan oleh Kingpin—yang nama sebenarnya adalah Wilson Fisk—serta musuhnya yang lain bernama Silvermane.
Ketika para mahasiswa sedang berdemonstrasi menentang kebijakan petinggi kampus, Kingpin menyerang ruangan eksibisi kampus di mana batu misterius itu ditampilkan. Secara membabi buta, ia bersama anak buahnya menghancurkan tembok dan apa saja yang ada di sana supaya bisa mendapatkan batu itu. Tak dapat dihindari, beberapa mahasiswa pun terkena kebrutalannya. Tentu saja, karena kejadiannya berada di tempat Peter Parker berkuliah, ia pun segera mengganti kostum menjadi Spider-Man dan berusaha menghentikan keonaran Kingpin.
Kingpin yang tak peduli terhadap peraturan sekitar, kecuali peraturan yang ia buat sendiri, memanfaatkan beberapa mahasiswa sebagai tameng saat menghadapi Spider-Man dan berusaha untuk melarikan diri sambil membawa batu misterius. Menghadapi situasi yang tak menguntungkan, Spider-Man pun mengalah dan mundur supaya tak menimbulkan korban. Meskipun begitu, Spider-Man berhasil melacak keberadaan Kingpin yang melarikan diri. Akhirnya, setelah pertarungan sengit di markas Kingpin, Spider-Man berhasil merebut kembali batu misterius, lalu melumpuhkannya supaya polisi bisa segera menahannya. Namun, Kingpin tak kehabisan akal, ia malah menuduh Spider-Man sebagai komplotannya di hadapan para polisi yang akan menangkapnya. Para polisi percaya dengan perkataannya, sehingga mereka pun menjadikan Spider-Man sebagai buronan.
Beberapa waktu kemudian, gerombolan bernama Maggia yang dipimpin oleh Silvermane, ternyata mengincar juga batu misterius itu. Setelah berhasil mendapatkan batu tersebut dari Kapten Stacy (Spider-Man memercayakan kepadanya untuk disimpan), mereka menculik Dr. Curt Connors beserta keluarganya supaya ia memecahkan arti dari tulisan-tulisan rahasia yang terdapat di batu tersebut. Connors pun berhasil mengungkap rahasianya yang ternyata berisi tentang obat mujarab untuk hidup kekal. Itulah alasan kenapa Silvermane yang sudah tua renta berhasrat mendapatkan batu misterius itu. Silvermane akhirnya meminum cairan yang berasal dari batu misterius, sehingga menyebabkannya berubah menjadi sesuatu yang membuat orang terkejut sekaligus ngeri.
Beberapa tahun kemudian, setelah meratapi nasib atas kejadian yang menimpa kekasihnya—Gwen Stacy—akibat ulah Green Goblin, Peter Parker seperti kehilangan arah. Walaupun ia masih menggunakan jaringnya untuk berpatroli di kota sebagai Spider-Man, ia merasa tak ada lagi hasrat untuk menyelamatkan orang-orang dari tindakan kriminal. Ditambah lagi dengan kejadian Bibi May yang sekarat karena penyakit liver yang dideritanya, sehingga ia membutuhkan donor liver untuk menyelamatkan nyawanya. Masalah muncul ketika Peter diminta mendonorkan livernya untuk bibinya. Dengan terpaksa, ia menolak permintaan tersebut kepada dokter. Bukan ia tidak mau, tapi alasannya karena seluruh anggota tubuhnya sudah terkena radioaktif dari gigitan laba-laba. Selain itu, ia juga tak ingin identitas rahasianya terbongkar dan membahayakan orang-orang terdekatnya. Salah dua orang terdekatnya, Mary Jane dan Harry Osborne, yang tak mengetahui bahwa ia adalah Spider-Man, merasa kecewa dan menuduh Peter adalah keponakan yang tak tahu diri. Secara bersamaan, Silvermane yang lama tak terdengar kabarnya setelah meminum ramuan dari batu misterius, muncul kembali dengan sikap yang lebih sadis. Selain itu, penampilannya berubah drastis!
***
Untuk mengetahui dan meneruskan kisah-kisah yang lebih detail, kamu bisa membacanya langsung di novelnya. Novel ini harus dibaca bagi kamu yang merasa fans Spider-Man untuk menambah referensi dan koleksi dari medium yang lain. Seperti di filmnya, kita jadi menyadari bahwa Peter Parker adalah manusia biasa juga. Meskipun ia memiliki kekuatan super dan telah berjasa menolong orang-orang dalam bahaya, ternyata ia masih saja hidup dalam kondisi finansial yang pas-pasan dan terkadang kekurangan. Semacam pahlawan tanpa tanda jasa?
Selain itu, saya jadi bisa merasakan kegalauan yang dirasakan Peter di novel ini. Itu diakibatkan karena proses berpikir dari remaja ke dewasa ketika mengalami masa-masa sulit, seperti yang ia katakan kepada Harry Osborne:
“…I always thought growing up would bring more freedom, but it feels like all you get is tougher choices.”