Kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia memang sudah terlihat nyata. Setiap saya pulang kerja, saya sering melewati daerah pinggiran ibukota yang diisi oleh warga yang bertempat tinggal di rumah padat penduduk, padahal di belakang rumah mereka, dibangun apartemen mewah yang kecil kemungkinannya untuk bisa mereka tinggali karena harganya yang sangat mahal. Selain itu, saya juga pernah melihat gelandangan yang tidur di jembatan penyebrangan, padahal tak jauh di dekatnya terdapat hotel bintang lima yang siap menampung orang-orang “berkantong tebal”. Namun, ternyata kesenjangan sosial bukan hanya terjadi di kota besar. Di dalam novel Dunia Samin karya Soesilo Toer, fenomena tersebut juga terjadi di desa kecil yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
Menengok ke belakang sebentar, saya bisa mengetahui sosok Soesilo Toer setelah saya menonton beberapa video di kanal Youtube yang menceritakan tentang kehidupannya. Karena selain ia adalah adik dari penulis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, saat ini ia juga berprofesi sebagai pemulung. Jika media-media yang menyorotnya terkesan kaget karena latar belakang Soesilo Toer, yang lulusan Uni Soviet, ternyata malah menjadi pemulung di malam hari, saya malah merasa salut. Saya salut karena Soesilo Toer menjadi pemulung karena pilihannya sendiri dan ada pesan filosofis yang ia jelaskan, kurang lebih seperti ini:
"Itu saya ingat kata-kata Sokrates. Ketika Sokrates mau minum racun pohon cemara, ia mengatakan, 'Kenalilah dirimu karena kematian adalah kenikmatan abadi'. Itu saya pungut, saya balik, 'Kenalilah diriku karena memulung adalah kenikmatan abadi'."
Kembali kepada novel yang ia tulis. Dunia Samin sebenarnya dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama ditulis oleh Soesilo pada 1950-an saat ia masih muda; bagian kedua ditulis pada 1960-an ketika ia berada di Uni Soviet selagi berkuliah di sana; sedangkan yang ketiga, ditulis setelah ia sudah kembali ke Indonesia dan selesai menjalani masa tahanan politik Orde Baru pada akhir 1970-an.
***
Sosok Samin yang diceritakan di sini berdasarkan sosok nyata bernama sama. Ia adalah Samin Soerosentiko yang karena pemikiran dan kegigihannya bisa menyatukan kaum tani untuk melawan ketidakadilan dari kolonialisme Belanda pada zaman dulu. Kembali kepada sosok Samin di dalam novel, ia digambarkan sebagai seorang tua yang terkesan polos tetapi tetap kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di desanya, sehingga sering mengeluarkan komentar yang penuh kritik dan satire. Pada bagian pertama dan kedua, saya merasa bahwa kisahnya sungguh menggugah rasa kemanusiaan kita karena ia sangat peduli terhadap masyarakat miskin di sekitarnya. Salah satunya adalah ketika hujan besar melanda di desanya sehingga tanggul tempat mengaliri air di sawah bocor dan mulai membanjiri sawah. Ia mencoba memberi tahu kepada para tetangganya supaya memperbaiki tanggul tersebut supaya tak merusak padi yang masih hijau. Karena jika tidak, padi yang ditanam pun menjadi sia-sia dan gagal panen, sehingga kemungkinan besar akan terjadi musibah kelaparan. Awalnya penduduk desa, termasuk kepala desa, meremehkan seruan Samin. Tapi karena beberapa penduduk desa percaya kepada yang dikatakan Samin, mereka akhirnya berhasil memperbaiki tanggul tersebut menggunakan kayu curian. Ya benar, kayu curian. Mereka terpaksa menggunakan kayu tersebut karena tak ada cara lain yang bisa digunakan untuk menutupi kebocoran. Kehebohan pun terjadi karena Samin dan kawan-kawan dianggap sebagai pencuri dan pembuat onar karena telah merugikan pemilik kayu. Meskipun yang terjadi sebenarnya, karena usaha Samin dan kawan-kawan memperbaiki tanggul, musibah kelaparan bisa dihindari. Setelah debat yang panjang, akhirnya Samin yang memenangi perkara tersebut. Dari hasil tekad Samin yang memihak kepada kaum tani dan kesejahteraan bersama di desanya, ketika pemilihan umum kepala desa berlangsung, para penduduk pun memilihnya sebagai kandidat kepala desa. Mereka memilihnya karena mereka merasa Samin telah bertindak nyata dan mengetahui keadaan masyarakat. Bisa ditebak, Samin pun memenangi pemilihan kepala desa mengalahkan kandidat-kandidat lain yang dirasa kurang mendapatkan empati dari rakyat. Walaupun Samin telah dipilih secara sah, ternyata ia sempat menolak karena merasa sudah tua dan masih banyak sosok yang lebih pantas menjabat daripada dirinya. Penduduk desa tetap meyakinkan dirinya, sehingga Samin pun menerima jabatannya dengan rendah hati.
Setelah Samin menjabat sebagai kepala desa, ia mulai membangun desanya dengan kebersamaan dan gotong royong. Ia tak mau hasil padi yang dihasilkan penduduk desa dijual kepada para tengkulak karena ia merasa para tengkulak hanya bisa memeras tenaga petani dan mengambil keuntungan besar dari mereka. Selain itu, Samin juga membangun tempat pendidikan agar masyarakat di sana bisa membaca dan menulis. Beberapa tahun Samin menjabat, ternyata sudah banyak kemajuan dan kemakmuran yang dirasakan oleh penduduk desa.
Meskipun demikian, kehidupan tak selalu berjalan lurus dan lancar. Ada saja orang-orang yang tak suka kepada Samin karena merasa sejak kehadirannya, ia tak lagi mendapat keuntungan besar. Masalah yang terjadi adalah ketika tiba-tiba ada kebakaran yang melanda gedung serbaguna yang telah dibangun bersama-sama dari “keringat” penduduk desa. Setelah diselidiki, ada salah satu penduduk yang berkhianat karena ia rela dibayar dengan uang sedikit untuk melakukan pembakaran yang disengaja. Penduduk pun murka kepada si tersangka. Tapi lebih murka lagi kepada "otak" yang menyusun rencana jahat tersebut. Penyusunnya, ternyata, adalah para tengkulak dan pengusaha yang merasa tak ada lagi keuntungan besar yang mereka dapatkan sejak Samin menjabat kepala desa dan membuat para penduduk desa bisa mandiri, sehingga bisa menjual hasil panennya sendiri tanpa harus lewat para tengkulak yang hanya bisa menyengsarakan para petani. Para tersangka pun dijatuhi hukuman.
Itulah yang terjadi di Dunia Samin I dan II. Sedangkan di Dunia Samin III berisi anekdot-anekdot kehidupan Samin, contohnya seperti ini:
Dia adalah Nyawaku
Ketika sedang asyik mencangkul kebun, Samin menemukan sebuah batu bundar.
Ketika sedang asyik mencangkul kebun, Samin menemukan sebuah batu bundar.
“Bawa batu ini pulang,” katanya kepada istrinya. “Cuci bersih dan simpan di tempat paling baik di kamar.”
“Kau sudah gila.”
“Simpan kataku batu itu. Ia adalah nyawaku.”
“Nyawamu?”
“Coba saja ia intan, orang akan membunuhku untuk memperolehnya.” (Halaman 225)
Atau yang ini:
Tamu yang Tidak Tahu Diri
Samin sedang mencangkul kebun ketika datang seorang tamu yang tidak diundang.
Samin sedang mencangkul kebun ketika datang seorang tamu yang tidak diundang.
“Mencangkul, Min?” tanya tamu itu ramah.
Namun Samin pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu dan terus asyik bekerja. Tamu itu mengira Samin tidak mendengar pertanyaannya dan mengulangi lebih gigih dan lebih keras. Namun Samin tetap tidak memedulikan. Tentu saja sang tamu jadi naik pitam. Dia memaki-maki Samin sambil pergi meninggalkan tempat itu.
“Tamu tidak tahu diri,” gerutu Samin. “Sudah tahu ada orang mencangkul kecapaian, masih juga bertanya yang bukan-bukan. Mengapa dia tidak bertanya, ‘Mau es alpukat, Min?’ Sontoloyo!” (Halaman 187)