Ketika ingin membeli novel atau buku tertentu, saya sering melihat dulu ulasannya di Goodreads dan berbagai situs di internet atau bertanya kepada teman yang sudah membaca buku tersebut. Tapi, ada beberapa buku yang saya pikir sudah tak lagi butuh pertimbangan karena kualitasnya yang sudah diakui oleh kebanyakan orang dan, bahkan, dunia. Khusus di Indonesia, salah dua penulis yang saya ketahui untuk memenuhi kriteria tersebut adalah Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan. Untuk tulisan kali ini, yang jadi fokus saya adalah Tetralogi Buru karya Pram.
Saya sudah mendengar Tetralogi Buru pada masa awal kuliah sekitar 2012 lalu. Tapi karena saya belum ada minat untuk membaca buku "berat" tersebut, saya pun tak ada niat untuk membelinya. Lalu, pada 2018 lalu ada kabar bahwa novel pertama Pram yang berjudul Bumi Manusia akan difilmkan. Rencananya, film tersebut ditayangkan pada 2019. Media sosial dan berita daring yang saya baca menyambut hal tersebut dengan heboh, ada yang setuju, ada pula yang tidak. Saya pun jadi penasaran tentang novelnya.
Di tahun yang sama, yaitu pada 2018, saya memutuskan untuk membaca novel pertama dari Tetralogi Buru. Saya membelinya di toko buku di dekat tempat saya bekerja. Dan, inilah ulasan saya tentang novel tersebut:
Bumi Manusia
Salah satu hal yang menjadi fokus permasalahan dari novel ini, selain kisah asmara antara Minke dengan Annelies, adalah tentang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Minke, seorang pribumi, harus menghadapi diskriminasi hukum bersama Nyai Ontosoroh dan anaknya, Annelies Mellema, seorang indo. Hal tersebut diakibatkan karena Herman Mellema—suami Nyai Ontosoroh—meninggal dunia dan seluruh hartanya harus diwariskan kepada keluarganya yang sah di Belanda. Pernikahan Minke dengan Annalies pun dianggap tidak sah karena perbedaan kelas sosial yang terjadi ketika itu.
Selain itu, terdapat tokoh lain seperti Robert Mellema, Robert Suurhof, Darsam, Jean Marais, May Marais, Kommer, Keluarga De La Croix, Magda Peters, Jan Dapperste (Panji Darman), dan lain-lain sebagai penghubung cerita serta mereka memiliki kisah latar belakangnya masing-masing.
Selain itu, terdapat tokoh lain seperti Robert Mellema, Robert Suurhof, Darsam, Jean Marais, May Marais, Kommer, Keluarga De La Croix, Magda Peters, Jan Dapperste (Panji Darman), dan lain-lain sebagai penghubung cerita serta mereka memiliki kisah latar belakangnya masing-masing.
***
Cukup lama saya menunda untuk membaca novel kedua dari Tetralogi Buru karena ada banyak buku lain yang menarik perhatian saya. Jadi, saya baru melanjutkan ke novel Anak Semua Bangsa pada awal November tahun ini. Selain itu, karena saya berkeinginan untuk menamatkannya sekaligus, Jejak Langkah dan Rumah Kaca pun saya baca juga. Kira-kira, dalam tiga puluh hari di November, saya bisa menamatkan Tetralogi Buru. Ini adalah ulasan saya untuk Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Anak Semua Bangsa
Di novel ini, konflik masih terus berlanjut dan batin Minke mulai bergolak karena nasib Annelies yang akhirnya harus pergi ke Belanda. Selain itu, banyak hal terus terjadi, salah satunya adalah pertemuannya dengan petani bernama Trunodongso yang tanahnya akan dirampas oleh perusahaan gula Belanda, sehingga menyebabkan Minke merasa bahwa ia masih belum mengenal bangsanya yang hidup kesusahan. Lalu, perkenalannya dengan pemuda Tionghoa bernama Khow Ah Soe yang membuat Minke menyadari untuk tetap bersikap kritis terhadap segala hal yang terjadi, terutama kepada orang-orang yang pro terhadap kolonialisme Belanda. Sampai akhirnya, Maurits Mellema datang dari Belanda untuk mengklaim harta benda ayahnya—Herman Mellema—, sehingga Minke, Nyai Ontosoroh, Jean Marais, Kommer, serta Darsam harus "melawan"-nya, meski hanya dengan kata-kata.
Jejak Langkah
Minke berada di Batavia untuk meneruskan pendidikannya di sekolah kedokteran. Ia meninggalkan kejadian-kejadian lalu dan segala kenangannya di Wonokromo. Meskipun begitu, pertama kali ia datang ke asrama sekolah kedokteran, teman-teman sekamarnya menyambutnya dengan perundungan, sehingga Minke pun melawan mereka.
Di tempat ini, Minke bertemu seorang perempuan karena mendiang Khow Ah Soe memintanya untuk mengantarkan surat miliknya ke perempuan tersebut. Ia bernama Ang San Mei, yang setelah percakapan dan pertemuan yang intens, akhirnya Minke menikahinya. Di babak ini, mereka berdua juga bertemu Kartini. Mereka takjub dengan perlawanan yang ditunjukkan untuk memajukan kaum perempuan yang selama ini dirasa tidak adil dalam mendapatkan pendidikan. Namun sayangnya, setelah banyak hal yang terjadi, Ang San Mei harus "pergi" selamanya meninggalkan Minke.
Selain kisah asmara, Minke mulai menyadari tentang pentingnya bergabung di organisasi. Pemahaman tersebut didapatkannya dari ceramah seorang dokter senior di sekolahnya. Minke pun akhirnya berusaha untuk mendirikan organisasinya sendiri bernama BO (Boedi Oetomo) dan fokus untuk berkecimpung di dalamnya karena ia tak lagi melanjutkan pendidikannya untuk menjadi dokter. Tapi karena organisasi tersebut dirasa gagal, ia pun kemudian mendirikan Syarikat Dagang Islam. Untuk menambah daya juang, ia juga membuat koran dan majalah sendiri untuk melawan kolonialisme Belanda.
Selanjutnya, ia bertemu perempuan lagi bernama Prinses van Kasiruta dan akhirnya menikah. Ia memutuskan hal tersebut karena ia menganggap Prinses adalah perempuan yang kuat dan mandiri.
Kurang lebih, itu sedikit cerita di Jejak Langkah. Saya merasa di novel ini, Minke mulai memasuki babak baru untuk bisa terus melawan kolonialisme Belanda lewat tulisan dan organisasi yang merekrut banyak massa. Namun, pemerintah kolonial dan orang-orang yang tak suka kepadanya pun tak tinggal diam dan selalu berusaha untuk meneror kegiatan yang Minke lakukan.
Rumah Kaca
Buku keempat dari Tetralogi Buru sekaligus yang terakhir.
Di novel ini, sudut pandang bukanlah lagi dari Minke, tetapi dari Jacques Pangemanann dengan dua 'n'. Sebelumnya, ia muncul di bagian akhir Jejak Langkah sebagai polisi yang menangkap Minke untuk mengasingkannya ke Ambon.
Secara keseluruhan, Rumah Kaca mengisahkan tentang peran Pangemanann sebagai anak buah Gubermen yang bertugas untuk mengamankan gerak-gerik pribumi dalam mempropagandakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Meskipun begitu, ia sendiri adalah pribumi yang berasal dari Maluku. Bedanya, ia sejak kecil diasuh oleh orang tua angkatnya yang berasal dari Eropa, sehingga ia mendapatkan pendidikan Prancis.
Selain itu, kita akan merasakan bagaimana Pangemanann mengalami perang batin terhadap aksi yang dilakukannya. Karena di sisi lain, ia mendukung segala aktivitas propaganda pribumi, tapi ia juga harus menaati tugas yang diberikan oleh Gubermen untuk "membasmi" semua kegiatan terlarang tersebut.
Judul Rumah Kaca ini pun diambil dari istilah yang Pangemanann sebutkan sendiri sebagai tempat penyimpanan segala dokumen dan arsip yang berisi tentang identitas orang-orang yang ia selidiki dan dianggap berbahaya oleh Gubermen.
Dan pada akhirnya, di bagian akhir cerita novel ini, kita akan disuguhi kejadian yang membuat kita terenyuh dari kisah Minke setelah selesai masa pembuangannya.
***
Membaca Tetralogi Buru membuat saya menyadari tentang pentingnya perjuangan dan melawan penindasan. Dari setiap novel, saya bisa mengetahui proses dan perkembangan pada diri Minke. Secara bertahap, ia bisa memperoleh idealismenya sendiri dan berusaha untuk membuat orang-orang sebangsanya supaya bisa ikut melawan ketidakadilan dari kolonialisme Belanda.
Selain itu, peran para perempuan di Tetralogi Buru sungguh mengagumkan, sebut saja salah satunya Nyai Ontosoroh. Saya merasa bahwa ia adalah tokoh yang berperan sangat penting di dua buku pertama. Kata-katanya membuat saya sadar betapa ia memang penentang yang tangguh ketika ada seseorang yang merendahkannya:
“Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”