Sebenarnya selain Sabtu, gue bisa pulang ke rumah pada Jumat malam. Akan tetapi, karena kemarin Jumat (11/12/2015) ada tugas kuliah yang harus diselesaikan sampai sore, jadi gue berencana pulang Sabtu pagi.
Yah, rencana hanyalah rencana. Gue yang memutuskan pulang Sabtu pagi, karena ternyata setelah salat Subuh, gue tidur lagi dan akhirnya bangun siang, jadi gue berangkat dari kamar kos menuju stasiun kereta pukul 14.30 WIB.
Stasiun yang gue tuju adalah Stasiun Pondok Ranji─stasiun yang sudah sering gue datangi sejak kuliah di UIN Jakarta. Untuk ke sana, gue menaikki angkot S10. Kenapa angkot? Karena kalau menaikki helikopter berarti gue sedang bermimpi. Ada hal yang menarik setiap gue menaikki angkot jurusan tersebut, eh gak menarik juga sih, tapi lumayan ngeselin. Hal tersebut adalah ketika jalanan macet dekat palang pintu kereta api dan di saat itu juga ada beberapa pemuda, terkadang ada satu pemudi, yang berpenampilan model anak punk. Nah, di kala macet datang, salah satu di antara mereka akan memasuki mobil angkot yang berhenti, kemudian mengamen dengan menepuk tangan sambil berkata,
“Ya, kami mohon pengertian bapak-bapak dan ibu-ibu aja ya untuk memberikan seribu atau duaribu yang dimiliki. Itu gak akan membuat ibu dan bapak miskin, kok. Jadi, sekali lagi kami mohon pengertiannya, ya.”
Kemudian, mereka pun bernyanyi menyanyikan lagu yang mereka ciptakan sendiri. Gue, yang terkadang ada di situasi tersebut, memberikan uang logam limaratusan atau kalau lagi malas membuka ransel untuk mengambil recehan, gue bakal memberikan senyuman. Namun, pernah terpikir oleh gue untuk menanyakan langsung pertanyaan ini ke mereka saat mereka sedang mengamen di angkot yang sedang gue naikki, “Apa yang menjadi motivasi abang/mbak bergaya seperti itu? Atau ternyata udah sejak lahir abang/mbak berpenampilan seperti itu?”. Akan tetapi, karena gue sedang malas mendapatkan memar di wajah, jadi gue membatalkan niat tersebut.
Oke, kembali menuju jalan pulang. Hal pertama yang gue lakukan kemarin ketika sampai di stasiun adalah melakukan hal-hal yang biasa gue lakukan seperti membeli tiket, membeli minuman botol untuk diminum sambil menunggu commuterline, kemudian masuk ke peron stasiun.
Saat gue sedang menunggu commuterline yang ingin dinaikki, waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 WIB dan azan Asar pun berkumandang. Gue yang biasanya memutuskan untuk salat Asar di rumah─karena berpikir kalau memaksakan salat di musala stasiun khawatir gak khusyuk akibat memikirkan kedatangan commuterline─, alhamdulillah, gue bisa meyakinkan diri untuk salat Asar di awal waktu dan memutuskan untuk salat di musala stasiun karena ternyata commuterline yang mau gue naikki mengalami keterlambatan.
Sesampainya di musala, ternyata hanya ada beberapa orang di sana yang kebanyakan cuma menggunakan toilet umum, jadi keadaan di dalam musala kosong. Di tempat wudu yang lumayan kecil, hanya ada dua kran air yang tersedia yang ternyata kran air bagian kanan sedang dipakai oleh seorang perempuan, sehingga gue memakai kran air bagian kiri dan berusaha menjaga jarak agar gak bersentuhan. Setelah selesai berwudu, gue langsung memasuki musala untuk melaksanakan salat.
Saat gue meletakkan ransel di depan karpet lalu bersiap-siap untuk takbir, tiba-tiba ada suara lembut di belakang gue yang berkata kurang lebih seperti ini,
“Mas, kita salat berjamaah, ya? Tapi, tunggu saya dulu pake mukena.”
Deg! Suara tersebut langsung membuat konsentrasi gue berkurang dan gue pun menengok untuk mencari tahu siapakah pemilik suara tersebut. Ternyata, pemiliknya adalah perempuan yang gue lihat sekilas di tempat wudu sebelah gue tadi. Dan, setelah gue lihat, wajahnya (menurut gue) terlihat cantik dan dia sedang memakai mukenanya yang berwarna cokelat muda bermotif bunga. Karena gak bisa menolak ajakannya yang tiba-tiba (dan emang karena gak ada niat untuk menolak), gue langsung mengangguk. Kemudian, dalam hati, gue berkata,
“Ya Allah, ini baru pertama kalinya saya diajak salat berjamaah oleh perempuan yang sama sekali belum saya kenal. Sebab, selama saya salat di musala stasiun ini, hanya kaum Adam aja yang bisa saya ajak berjamaah karena kaum Hawa biasanya salat sendiri-sendiri. Ya Allah, jauhkanlah saya dari perasaan yang aneh-aneh.”
Iya, gue jadi baper. B-A-P-E-R.
Setelah melihat dia selesai memakai mukena, gue langsung bertanya kepadanya sambil beristighfar dalam hati supaya dijauhi dari perasaan kagum yang berlebihan sehingga membuat salat yang mau dilaksanakan jadi gak khusyuk,
“Udah siap?”
“Umm... gak nunggu orang lain dulu yang sedang wudu, Mas?” katanya yang tepat berdiri beda dua shaf di belakang gue.
“Maaf, saya khawatir commuterline yang mau saya naikki sebentar lagi datang,” gue menjawab permintaannya.
“Oh, ya udah kalau begitu. Silakan dimulai aja salatnya.”
Setelah itu, kami pun salat berjamaah. Dan, yang bisa menilai salat kami hanyalah Allah.
Saat salat selesai, gue mendengar pengumuman dari pihak stasiun bahwa commuterline yang akan gue naikki sebentar lagi tiba. Gue langsung mengambil ransel dan mengucapkan salam perpisahan kepada perempuan tersebut.
“Saya duluan ya,” sambil menatapnya sebentar kemudian memberikan senyuman karena gugup.
Dia yang sedang merapikan mukena, langsung membalas senyuman gue lalu menjawab,
“Iya.”
Sebenarnya saat itu kalau sedang gak terburu-buru, gue akan berusaha untuk memperlambat keluar dari musala supaya gue dan dia bisa keluar bersama, kemudian berkenalan. Namun, situasi berkata lain.
Gue yang saat itu ingin menanyakan namanya, terhalang oleh rasa gugup yang dirasa dan akhirnya momen tersebut berlalu begitu aja.
***
Kembali berdiri di peron untuk menunggu commuterline yang sebentar lagi tiba, pikiran gue jadi bertanya-tanya kepada diri-sendiri,
“Kenapa gue jadi baper? Kan, bisa aja dia emang sering mengajak lelaki yang ditemuinya di musala untuk salat berjamaah, meskipun si lelaki tersebut orang asing. Oh, iya, gue tahu. Gue baper karena ini adalah pertama kalinya gue diajak oleh perempuan asing─dan, kebetulan dia memiliki wajah yang cantik─untuk salat berjamaah. Iya, pasti alasannya itu. Udah ya, cukup. Kalau jodoh gak ke mana.”
Gue langsung istighfar lagi dalam hati supaya pikiran gue gak dikuasai oleh nafsu di dalam diri yang membuat gue jadi mengagumi si perempuan tersebut secara berlebihan.
Commuterline tujuan gue pun akhirnya tiba.
Gue masuk ke dalam. Kemudian saat udah berada di dalam, gue gak sengaja melihatnya lagi di balik pintu commuterline yang mulai berjalan perlahan kalau dia baru aja keluar dari musala dan sedang bergegas kembali ke tujuannya semula; entah ke mana.
Tanpa mengetahui nama masing-masing, hanya senyuman yang menjadi saksi. Kami pun akhirnya berpisah di Stasiun Pondok Ranji.