Pict by: heritage.kereta-api.co.id
Siang itu di Stasiun Gambir, Jakarta, terlihat dua orang sahabat yang sudah lama sekali tak bertemu, tiba-tiba berpapasan. Pria yang baru saja masuk ke dalam stasiun itu bertubuh gemuk dan tinggi, memakai jaket berwarna biru tua dan celana panjang hitam sambil membawa tas koper yang juga berwarna hitam, terlihat sederhana namun berkelas. Jika didekati, bau tubuhnya tercium aroma parfum Bvlgari Extreme. Sementara pria yang baru saja keluar dari kereta ekonomi itu bertubuh kurus, memakai kemeja kotak-kotak merah dan celana levi’s yang dibelinya dari toko pakaian bekas. Ia sibuk menggendong tas besar di punggungnya sambil menenteng kardus bekas mie instan di tangan kanannya. Jika didekati, bau tubuhnya tercium aroma minyak wangi murahan yang baunya menyengat yang biasa dibeli di pingir-pinggir jalan. Di belakangnya, terlihat seorang wanita yang sama kurusnya dan memiliki mata agak sayu; dia adalah istrinya. Selain itu, terlihat juga seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun; dia adalah putranya.
“Yadi!” sapa pria gemuk yang tak sengaja melihat si pria kurus berjalan di sampingnya. “Kau Suryadi, kan? Sudah lama sekali kita tak berjumpa! Aku hampir saja tak mengenalimu!”
“Oh, ya Tuhan!” kata si pria kurus yang diketahui bernama Suryadi. Ia nampak terkejut dan menjatuhkan kardus yang dibawanya. “Bambang?! Sahabatku saat SMA yang terpisahkan karena perjalanan hidup dan sampai akhirnya kita lost-contact! Tak kusangka kita bertemu di stasiun ini! Aku sangat senang sekali bisa bertemu lagi denganmu!”
Akhirnya dua sahabat lama itu berjabat tangan, kemudian saling berpelukan. Terlihat dari kedua mata mereka mengeluarkan sedikit air mata karena terharu.
“Ini sungguh seperti keajaiban!” kata Yadi sambil melepaskan pelukan dari tubuh Bambang. “Aku masih agak tak percaya! Cobalah kau perhatikan diriku, wahai sahabatku! Aku masih terlihat gagah, energik, dan berkharisma seperti saat pertama kali kita bertemu, kan? Oh iya, bagaimana kabar dirimu? Apakah hidupmu sudah mapan? Punya istri? Kalau diriku, bisa kau lihat sekarang, aku sudah menikah sejak sebelas tahun yang lalu. Perkenalkan, ini istriku, Irina, berasal dari Yogyakarta. Jika dilihat dari silsilah, dia masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Yogya, meskipun jauh. Sedangkan yang di belakangnya adalah putraku, namanya Indra. Dia kelas lima SD sekarang dan selalu mendapatkan peringkat tiga besar di kelasnya. Kemarilah, Nak. Perkenalkan ini sahabat ayah sejak SMA.”
Indra berpikir sebentar lalu menghampiri sahabat ayahnya itu dan mencium tangannya. Ia pun kembali ke belakang punggung ibunya.
“Benar sekali, kami memang sangat dekat saat bersekolah dulu!” lanjut Yadi. “Apakah kau masih ingat saat aku dan teman-teman sekelas lainnya suka menjulukimu dengan sebutan ‘Badak Jawa’ karena saat bermain bola dan menjadi ‘back’, dirimu selalu saja bisa menghadang lawan dengan dorongan dari pundakmu? Sementara diriku dijuluki oleh teman-teman kita dulu sebagai ‘Si Kancil’ yang begitu lincah dan cerdik saat menggiring bola sehingga lawan-lawan kita dari sekolah lain sangat sulit mengejarku. Wah, jika diingat-ingat kembali, dulu kita memang sangat hebat ya! Ayolah, Nak. Jangan bersikap malu-malu seperti itu, mendekatlah ke Ayah supaya kau bisa mengenal sahabat Ayah ini.”
Indra masih menundukkan kepalanya dan bersembunyi di balik tubuh ibunya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Bambang dengan ekspresi antusias kepada sahabatnya. “Apakah profesimu sekarang?”
“Oh iya, aku hampir saja lupa menceritakannya! Selama tujuh tahun ini aku berprofesi menjadi guru SD di daerah Bintaro. Meskipun masih menjadi honorer, aku tidak mempermasalahkannya. Sedangkan istriku membuka warung makan di rumah saat malam, dan aku juga membuka les untuk para murid-muridku pada hari Sabtu dan Minggu di sore hari. Sejauh ini, keadaan ekonomi kami baik-baik saja. Kau tahu, kami sekeluarga baru saja pulang kampung dari Solo karena mendapatkan kabar dari sana kalau ibuku mengalami sakit dan aku memutuskan untuk mengambil cuti mengajar dan sekaligus meminta izin tidak masuk untuk anakku juga. Dan syukurnya, sekarang ibuku sudah kembali sehat. Dan bagaimana dengan dirimu? Mengapa kau berada di stasiun ini? Kuperkirakan kau sekarang menjadi pegawai swasta, ya?”
“Syukurlah kalau ibumu sudah kembali sehat. Kalau kau menghubungi beliau, sampaikan salamku padanya, ya,” kata Bambang sambil tersenyum. “Bukan, sahabatku,” lanjutnya. “Sebenarnya sejak sebulan yang lalu aku sudah diangkat menjadi wakil rektor di Universitas Negeri Jakarta. Aku berada di stasiun ini karena ingin pergi ke Malang, ada urusan yang harus kuselesaikan.”
Tiba-tiba Yadi tersentak kaget dan ekspresinya berubah pucat. Mulutnya pun terasa sulit digerakkan, namun dengan cepat ia berusaha menguasai diri. Wajahnya mulai bersinar kembali, namun tubuhnya jadi gemetar dan terlihat semakin kurus. Barang-barang yang dibawanya pun─tas, kardus, dan yang lainnya─seolah-olah ikut menjadi “kecil”. Mata istrinya yang agak sayu terlihat jadi membesar, sedangkan Indra yang tadi terlihat pemalu mendadak menegakkan tubuhnya dan langsung berdiri di samping ayahnya.
“Oh, Pak Warek... merupakan sebuah kehormatan bagi saya dan keluarga bisa bertemu dengan Anda. Saya sangat bangga mengetahui kalau sahabat saya yang sudah lama tak bertemu, sekarang sudah menjadi orang yang terpandang!” kata Yadi sambil menyeringai lebar.
“Yadi... Yadi... Jangan terlalu berlebihan begitu!” balas Bambang dengan nada santai. “Mengapa tiba-tiba ekspresi dan nada suaramu jadi berubah drastis seperti ini? Kita sudah saling mengenal sejak SMA. Sebuah profesi atau jabatan bukanlah menjadi perbandingan dalam persahabatan kita, kan?”
“Ma-maksud saya bukan seperti itu, Pak. Akan te-tetapi...” Yadi mengucapkan kata-kata dengan gugup, dirinya terlihat semakin kecil. “Rasa rendah hati yang ditunjukkan oleh Bapak seperti sebuah keberkahan yang diberikan Tuhan kepada kami. Perkenalkan, Pak, ini adalah Indra, putra saya. Sementara ini adalah Irina, istri saya yang masih ada hubungan darah dengan Sultan Yogya.”
Mendapat perlakuan yang mendadak berubah seperti itu dari sahabatnya, sebenarnya Bambang menjadi risih dan ingin mengatakan rasa keberatannya. Apalagi melihat ekspresi dan rasa hormat yang sangat berlebihan, rasanya ia ingin muntah. Akhirnya, ia pun mundur selangkah ke belakang kemudian mengulurkan tangannya ke arah Yadi untuk bersalaman.
Dengan kedua tangannya, Yadi langsung menjabat erat tangan Bambang, kemudian menundukkan tubuh untuk memberikan rasa hormat sambil tersenyum. Mereka berdua akhirnya saling tertawa melihat satu sama lain. Istrinya juga ikut bahagia karena momen tersebut. Sementara Indra yang berada di samping ayahnya, tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Itu merupakan pertemuan luar biasa bagi keluarga Suryadi.