Pict by: derounited.com
Kira-kira sepuluh tahun lalu saat gue masih SD, gue bersama teman-teman di lingkungan rumah sering bermain di luar. Kami sangat bahagia dengan permainan-permainan sederhana yang kami mainkan. Tapi saat ini, di zaman yang semakin hari semakin maju dengan teknologi, gue merasa bahwa anak-anak SD zaman sekarang jarang sekali yang bermain dengan teman-temannya di luar. Sekalipun bermain di luar, mereka malah fokus dengan gadget yang dibelikan oleh orangtuanya masing-masing.
Dari kejadian itu, memori-memori masa lalu gue jadi ingin menceritakan kembali masa-masa saat gue masih bisa memainkan permainan yang sering gue lakukan bersama teman-teman pada saat itu. Permainan yang sudah jarang sekali dimainkan oleh anak-anak SD pada masa sekarang. Oke, langsung aja ya!
1. Petak umpet/Batu tujuh
Permainan ini merupakan permainan yang minimal dilakukan oleh dua orang, tapi semakin banyak orang yang bermain akan menjadi seru. Cara mainnya juga gampang, tinggal jadikan salah satu teman untuk bertugas sebagai pencari orang-orang yang sedang bersembunyi.
Sebenarnya petak umpet dengan batu tujuh merupakan permainan yang sama, bedanya kalau petak umpet menggunakan tiang, pohon, atau tembok sebagai sandaran sambil menghitung angka untuk si pencari selagi yang lainnya mencari tempat bersembunyi, sedangkan batu tujuh menggunakan batu tipis untuk disusun sebanyak tujuh buah oleh si pencari selagi yang lainnya bersembunyi.
Pict by: imgarcade.com
Gue punya pengalaman tersendiri dengan permainan ini saat kelas 4 SD. Jadi saat gue berperan sebagai si pencari dalam permainan batu tujuh, tiba-tiba Nyokap menghampiri gue untuk menyuruh pulang karena sudah waktunya makan siang, padahal saat itu gue sedang fokus menyusun batu selagi teman-teman yang lain bersembunyi. Tapi karena saat itu gue juga sudah lapar, akhirnya gue mengiyakan perkataan Nyokap untuk pulang.
Gak terasa sore pun tiba.
DEG! Tanpa sadar ternyata gue berada di sofa dengan mata yang masih sayup-sayup. Gue baru ingat saat itu kalau sehabis makan siang, gue tertidur pulas di atas sofa selama dua jam. Gue lupa kalau gue sedang bermain batu tujuh bersama teman-teman. Gue pun berpikir jangan-jangan dari tadi teman-teman gue masih bersembunyi. Tanpa rasa bersalah, gue malah melanjutkan duduk di sofa sambil menonton tv di rumah dan malas untuk keluar lagi karena hari itu cuaca sedang mendung. Gue gak mikirin nasib teman-teman yang sedang bersembunyi. Jahat banget emang gue.
Keesokkan harinya, gue dicuekkin oleh teman-teman sepermainan yang di hari sebelumnya ikut bermain batu tujuh bareng gue. Tapi namanya juga bocah, siangnya cuek-cuekkan, pas sorenya juga lupa dan akhirnya jadi akrab lagi. Hehe.
2. Sepak bola kampung
Sepak bola kampung di sini adalah sepak bola yang dimainkan di lapangan yang notabenenya bukan lapangan asli untuk bermain sepak bola, melainkan lapangan berbentuk seadanya dan dengan fasilitas seadanya.
Pict by: jatisariku.com
Karena pada zaman gue masih SD dan SMP penyewaan lapangan futsal terdekat masih belum ada, jadi gue bersama teman-teman menggunakan lapangan seadanya untuk bermain sepak bola. Yang dimaksud lapangan seadanya adalah tanah yang dipenuhi rumput liar dan batu-batu kecil. Meskipun begitu, kami sangat senang memainkannya.
Beberapa ciri sepak bola kampung adalah sebagai berikut:
- Sepasang sandal, bambu, batu, atau ranting pohon digunakan sebagai gawang. Tapi kalau memakai selain bambu, untuk tahu apakah bolanya terlalu tinggi atau terbentur tiang, kami menggunakan imajinasi untuk mengetahuinya.
- Bola yang sering digunakan adalah bola plastik. Hal tersebut dikarenakan harga bola plastik lebih murah daripada bola kulit. Dengan begitu saat kami bermain, arah angin menjadi penentu kekuatan tendangan kami. Jika arah angin lebih kencang ke gawang lawan, dengan mengeluarkan kekuatan yang sedikit untuk menendang, bola plastik tersebut akan melesat kencang.
- Gak memakai jersey. Pemain bisa menggunakan baju atau kaos dan celana apa aja, bahkan gak jarang juga teman gue yang bertelanjang dada saat bermain.
- Gak memakai sepatu bola. Karena dari kecil gue dan teman-teman memang jarang banget memakai sepatu saat bermain bola, jadi dengan bertelanjang kaki pun kami tetap merasa seru. Gak jarang telapak kaki gue menjadi lecet dan kasar karena bersentuhan dengan material lapangan yang penuh dengan batu dan tanah yang keras.
- Gak ada wasit. Jadi saat bermain sepak bola kampung, kejujuran lah yang menjadi faktor saat ada yang handball ataupun pelanggaran.
- Gak ada off-side. Pemain bisa secara sesuka hati berdiam diri di daerah lawan tanpa takut terkena off-side. Tapi kalau sering dilakukan akan dimarahi oleh tim lawan karena dianggap curang.
- Gak ada batas waktu. Permainan akan berakhir saat seluruh pemain sudah merasa lelah. Atau, kalaupun ingin ada batasan waktu, suara azan Magrib-lah yang bisa menghentikan pertandingan.
- Saat hujan deras, permainan akan menjadi tambah seru. Meskipun susah mengontrol bola karena kondisi lapangan yang licin, kami tetap semangat untuk memasukkan gol ke tim lawan.
- Dan masih banyak lagi.
3. Kuda tomprok
Permainan selanjutnya adalah kuda tomprok. Permainan ini dimainkan oleh dua tim. Masing-masing tim minimal beranggotakan tiga orang. Lalu tugas kedua tim adalah berposisi sebagai tim atas dan tim bawah. Tim atas adalah mereka yang bertugas melompati sampai mendarat di punggung tim bawah, sehingga tim bawah harus menahan berat orang-orang yang berperan sebagai tim atas.
Pict by: malesbanget.com
Setelah semua anggota tim atas selesai melompat, perwakilan dari tim atas (biasanya yang paling depan) dengan tim bawah (yang berdiri sebagai tiang) harus suit untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang. Jika tim bawah menang, berarti mereka berhenti menjadi si penahan dan akhirnya menjadi pelompat; sedangkan jika tim atas yang menang, berarti mereka terus menjadi pelompat. Tapi ketika suit belum dilaksanakan, tim bawah malah sudah gak kuat menahan beban tim atas sehingga barisan menjadi roboh, permainan pun diulang dari awal lagi.
Gue juga punya pengalaman berkesan dari permainan ini. Jadi saat itu gue masih kelas 6 SD dan guru gue gak masuk kelas. Lalu salah satu teman gue mengusulkan kepada seluruh anak cowok di kelas untuk mengisi jam kosong tersebut dengan bermain kuda tomprok. Gue dan teman-teman cowok yang lain pun setuju. Iya, pada saat itu permainan yang lagi ngehits banget di kelas gue adalah kuda tomprok, jadi kami pun merasa biasa aja dan gak takut kalau anggota badan kami bakal terasa sakit.
Saat itu permainan sedang berlangsung, tiba-tiba salah satu teman gue yang menjadi tim bawah gak kuat menahan beban sehingga menyebabkan teman-teman tim atas terjatuh. Sebut aja namanya Refi, dia adalah salah satu teman gue yang menjadi tim bawah. Saat itu ketika gue dan teman-teman mau melanjutkan permainan kuda tomprok lagi, tiba-tiba muka Refi mendadak pucat seperti menahan rasa sakit. Awalnya kami mengira kalau dia bercanda dan malah menertawakannya, tapi lama-kelamaan ekspresi Refi ternyata menunjukkan kalau dia benar-benar kesakitan karena gak mungkin dia jago banget akting sampai mengeluarkan air mata. Beberapa saat kemudian kami pun menyadari kalau dia memang benar-benar kesakitan sambil memegangi kaki kanannya.
Kami langsung panik melihat kondisi Refi saat itu. Gue, yang menjabat sebagai ketua kelas, langsung pergi ke ruang guru untuk memberitahukan kejadian tersebut. Salah satu guru pun datang ke kelas kami, kemudian menyarankan agar Refi segera pulang ke rumahnya. Tanpa kami sadari, ternyata sakit yang dideritanya saat itu lumayan parah sehingga ketika si guru memintanya supaya berdiri, dia gak sanggup. Gue dan teman-teman sekelas hanya bisa diam.
Akibat kejadian itu, wali kelas kami langsung melarang kami bermain kuda tomprok; takut ada korban yang berjatuhan lagi. Lebih parahnya, kami mendapatkan kabar kalau ternyata Refi didiagnosa mengalami patah kaki sehingga dia dioperasi dan gak masuk kelas selama dua bulan. Yah, namanya juga anak SD, meskipun kami sudah dinasehati biar gak main kuda tomprok lagi, diam-diam saat wali kelas kami gak masuk, kami tetap suka memainkan permainan tersebut. Alhamdulillah, gak ada korban lagi yang berjatuhan. Mungkin saat itu Refi adalah tumbal satu-satunya dari permainan tersebut. Hehe.
***
Itulah beberapa permainan masa kecil gue yang paling berkesan. Sebenarnya masih banyak permainan-permainan lainnya, seperti main layangan, kelereng, gasing, polisi-maling, dan lain-lain; tapi permainan tersebut biasa aja.
Dari beberapa kejadian yang udah gue ceritakan sebelumnya, gue bersyukur masa kecil gue diisi dengan permainan-permainan yang melibatkan orang lain, sehingga bisa meningkatkan rasa kerja sama dan kreativitas. Berbeda dengan ketika gue sudah kuliah saat ini, permainan yang sering gue mainkan adalah permainan yang cara melakukannya hanya dengan berdiam diri di tempat, kemudian menatap layar gadget atau laptop, sehingga permainan tersebut hanya mengandalkan jari dan fokus mata saja. Iya, zaman telah berubah.