Tenonet... tenonet... tenetnonet... nonetnet. Tiba-tiba suara Hp membangunkan gue dari tidur di pagi hari. Saat itu adalah hari Sabtu, hari di mana gue gak ada jadwal kuliah. Jadi sehabis shalat Subuh, gue sering tidur lagi.
Setelah gue melihat ke layar ponsel, ternyata Nyokap yang menghubungi gue.
“Assalamualaikum.”
Dengan nada yang masih sedikit ngantuk, gue menjawab,
“Waalaikumsalam, Bu. Ada apa?”
“Ibu cuma mau ngasih kabar, kalau teman SMP sekaligus SMA kamu, Lidya (bukan nama sebenarnya), sudah menikah dan mengadakan resepsi pernikahannya hari ini. Kamu mau datang ke sana?” kata Nyokap dengan begitu jelas.
“Hah?! Menikah? Kapan, Bu? Wah, gak nyangka, ternyata teman yang dulu suka ngerjain PR bareng, pulang sekolah bareng, sekarang udah menikah.” Gue berkata sambil bangun dari kasur kamar kos karena merasa terkejut dan bahagia dengan berita tersebut.
“Iya, jadi gimana? Kamu mau datang ke acara pernikahan Lidya?” tanya Nyokap di seberang sana.
“Umm... kayaknya enggak, deh. Agung sampai rumah kemungkinan sore, jadi Ibu sama Bapak aja yang ke sana. Salamin aja ke Lidya.”
“Ohh gitu, oke deh. Wassalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah gue menutup telepon, gue jadi teringat saat gue dan Lidya masih suka main bareng, belajar bareng, bercanda-canda, dan pulang sekolah bareng. Sampai-sampai saking sering gue ke rumahnya, nyokapnya Lidya udah menganggap gue sebagai anaknya. Kalau dibayangin, gue jadi suka ketawa-ketawa sendiri.
Iya sih, semenjak kami lulus SMA, kami udah gak pernah kontak-kontakan lagi. Walaupun rumah kami lumayan dekat, tapi kami udah benar-benar sibuk dengan rutinitas masing-masing karena kami juga berbeda kampus. Dengan begitu, dua tahun terakhir ini kami udah gak bertemu.
Gak terasa, waktu semakin berlalu. Gak terasa juga, teman gue udah ada yang menikah. Gue jadi merasa kalau umur gue semakin tua. Ya, gue cuma bisa mendoakan pernikahan Lidya dan suaminya bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warrahmah. Aamiin.
***
Ngomong-ngomong soal pernikahan, saat gue punya pacar dulu, tepatnya ketika kelas 2 SMA, gue pernah ngobrol dengan si pacar dan gak tau kenapa kami jadi membayangkan ketika kami berdua menikah kelak. Terdengar lebay memang, lulus SMA aja saat itu belum, udah memikirkan pernikahan. Tapi entah kenapa, gue dan pacar malah merasa seru-seru aja membahas tentang kehidupan kami setelah menikah. Dari mulai memberikan nama anak, sampai mau disekolahkan ke mana anak kami nanti ketika sudah besar.
Mengingat-ingat lagi kejadian itu, gue jadi suka ketawa dan geli sendiri. Hehehe.
Setelah umur gue bertambah, tepatnya ketika gue udah masuk perguruan tinggi, gue jadi merasa kalau pernikahan itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Maksudnya, karena pernikahan adalah suatu hal yang sakral, jadi pasti membutuhkan mental dan juga materi yang cukup untuk bisa mengadakannya. Selain itu, komitmen untuk hidup bersama selamanya yang gue rasa itu juga sangat perlu untuk ditepati.
Setiap orang memiliki kriteria pasangannya masing-masing. Ada yang lebih mengutamakan kecantikan fisik, harta kekayaan, jabatan, atau juga karena keyakinannya. Nah, di dalam kriteria yang udah gue sebutkan itu merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan seseorang dalam memilih pasangan.
Bokap gue pernah bilang ketika gue masih SMA, “Le (sebutan orangtua kepada anaknya dalam bahasa Jawa yang berarti ‘nak’), kalau kamu mau memilih pasangan nanti, yang lebih utama adalah karena keyakinannya ya. Yang satu iman dengan kita.”
“Iya, Pak. Agung usahakan nanti. Umm.... ohh iya, udah selesai belum, Pak, mandinya? Agung mau buang air besar nih! Kebelet!” Kata gue di depan pintu kamar mandi sambil menahan perut yang sedang mulas.
Iya, Bokap pernah memberikan nasihat untuk gue dalam memilih pasangan; keyakinan adalah nomor satu sebagai syaratnya. Gue berusaha akan mengikuti nasihat tersebut. Tapi tahukah kalian kalau pada saat gue SMA, gue pernah mempunyai pacar yang berbeda keyakinan? Gak tahu ya, nah makanya sekarang gue kasih tahu.
Saat itu, gue gak begitu peduli dengan keyakinan pacar gue; mau dia penyembah anoa, penyembah pohon toge, terserah. Yang penting saat itu ketika gue menyatakan perasaan dan akhirnya dia menerima gue sebagai pacarnya, gue senang.
Setelah kami jadian pun, kami gak pernah mengungkit-ngungkit perbedaan keyakinan yang kami anut. Mengapa? Karena menurut gue, keyakinan adalah urusan pribadi dengan Tuhan, orang lain gak berhak untuk ikut campur atas keyakinan kita. Meskipun begitu, kami selalu mengingatkan ketika waktu ibadah satu sama lain telah tiba. Ya, menurut gue itulah yang disebut menghargai perbedaan.
Gue berpacaran dengan dia cukup lama, sekitar 11 bulan; itu juga sering diwarnai dengan ngambek-ngambek gak jelas karena kami masih remaja labil. Karena hubungan kami yang sering renggang itulah, kami memutuskan untuk berpisah. Meskipun begitu ketika kami gak sengaja bertemu di sekolah, kami masih bisa saling menyapa dan tersenyum. Ya, kami berpisah secara baik-baik.
Oke, itulah cerita singkat gue tentang salah satu hubungan dengan mantan pacar yang berbeda keyakinan. Oleh karena itu, ketika gue memikirkan pernikahan, gue juga harus memikirkan faktor-faktor lain, seperti keyakinan, untuk menjadi salah satu pendukung keharmonisan rumah tangga. Ingat, ini pendapat gue ya. Jadi kalau kalian mikir, “Ada kok pernikahan yang berbeda keyakinan tapi tetap harmonis aja hubungan mereka sampai maut memisahkan.” Gak apa-apa, itu pendapat dan prinsip kalian sebagai makhluk individu.
***
Nah, kesimpulan dari postingan gue kali ini adalah pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan penuh dengan pertimbangan-pertimbangan. Menikahlah ketika akal, finansial, jasmani, dan rohani sudah siap; karena pernikahan, menurut gue, adalah untuk selamanya.